Monday, August 17, 2009

Madu Lebah Asli Kelebihan Dan Penjagaan Kesihatan

Dalam Al-Qur’an Surah An Nahl Allah SWT berfirman bermaksud :

"Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat yang dibuat manusia."Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (MADU) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat ubat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkannya.
(Surah an-Nahl: ayat 68 - 69)

Dari Abu hurairah r.a Rasulullah saw bersabda:

"Barangsiapa yang menjilat MADU 3 kali dalam sebulan di waktu pagi dia tidak akan diserangi penyakit yang serius."
(Sunan Ibni Majah)

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a Rasulullah saw bersabda:

"Gunakanlah dua penawar ini, iaitu MADU dan Al-Qur’an."

Di dalam kitab Tibbun Nabawi(Ibn Qayyim) menyebutkan pantang larang penggunaan madu lebah :





Dilarang sama sekali memakan buah tembikai (timun cina) bersama-sama dengan madu kerana boleh membawa bahaya/maut. Para ahli sains dan perubatan boleh mengkaji apakah hasil reaksi daripada percampuran dua bahan tersebut yang boleh mendatangkan kemudaratan.

Beberapa contoh, penggunaan madu disertakan bahan tambahan tertentu untuk penyembuhan:

Flu Dan Pilek

Ilmuwan Spanyol telah membuktikan bahwa madu berisi kandungan alami yang membunuh kuman influenza dan menyembuhkan pesakit dari flu. Maka minumlah madu ketika akan flu. Pilek Simptom ringan dan berat dapat disembuhkan dengan 1 sudu makan madu suam-suam kuku dan ¼ sudu teh bubuk kayu manis setiap hari selama 3 hari. Ramuan ini dapat menyembuhkan hampir semua batuk dan simptom kronik serta membersihkan sinus.

Sakit Gigi

Buat campuran 1 sudu teh serbuk kayu manis dan 5 sudu teh madu.
Infertilitas [ketidaksuburan]Pengobatan Yunani dan Ayurveda telah menggunakan madu selama bertahun-tahun untuk memperkuat semen (air mani = sperma) para lelaki dewasa. Dua sudu makan madu yang diminum secara teratur sebelum tidur akan berefek menyuburkan.
Sakit Perut dan Kembung

Madu yang dicampur serbuk kayu manis dapat mengubati sakit perut. Juga dapat membersihkan perut, serta menyembuhkan bisul sampai ke akar-akarnya.Penelitian yang dilakukan di India dan Jepun menyatakan bahwa madu yang diminum bersama kayu manis dapat mengurangi gas dalam perut.

Kegunaan lain rujuk buku berkenaan dan laman web berkaitan.
Rujukan :

>Dr Abdul Karim Najib al khatib: Madu Lebah Ubat Yang Turun Bersama Wahyu; Pustaka Ilmi,1994
>Ibn Qayyim : Tibbun Nabawi


Laman Info Saintifik Dan Ketulenan Madu lebah :
1.http://memori-kedah.net/page_pengenalan.php?p=2&idstopic=58&idskandungan=209&id=738&mtopic=7




2.http://www.intro2u.net/new/2009/06/khasiat-madu-lebah/
3.http://alfiannoer.wordpress.com/2008/05/29/keajaiban-madu-lebah-untuk-kesehatan/


Selsema Babi (H1N1)

HarunYahya; May 08,2009;

FLU BABI ADALAH SALAH SATU ALASAN MENGAPA ALLAH MENGHARAMKAN MAKAN BABI

Babi adalah salah satu di antara makanan-makanan yang Allah haramkan dalam Al Qur’an. Seorang Muslim sejati akan menunjukkan keteguhan dalam menaati perintah dan larangan Allah sekalipun ia tidak mengetahui hikmah di balik itu. Namun jika Allah menghendakinya, Dia juga dapat memperlihatkan kepada kita hikmah di balik sesuatu yang telah Dia haramkan. Peningkatan cepat baru-baru ini pada penyakit flu babi, sebuah penyakit mematikan, adalah satu di antara alasan mengapa memakan babi adalah haram.

Flu babi adalah penyakit yang disebabkan oleh virus “H1N1” dan dapat ditularkan dari orang ke orang melalui udara. Seperti halnya virus flu pada manusia, virus flu babi terus-menerus berubah dalam tubuh babi. Saluran pernapasan babi memiliki penerima (reseptor) yang peka terhadap virus-virus seperti flu babi, flu manusia dan flu burung. Karena alasan itu, babi memperbesar kemungkinan virus-virus baru muncul di saat semua jenis virus itu tertularkan secara bersamaan. Virus A/H1N1, sebuah gabungan dari virus flu manusia, babi dan burung, hanya muncul pada penerima-penerima (reseptor) yang terdapat dalam saluran pernapasan babi; dengan kata lain, babi berperan sebagai sarang bagi virus-virus untuk bergabung bersama (berpadu). Karena manusia tidak memiliki kekebalan alamiah terhadap virus tersebut dan karena penyebarannya sangatlah cepat, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan bahwa penyakit tersebut bakal menyebar di luar kendali sebagai sebuah wabak.



Salah satu sisi paling menakutkan dari penyakit tersebut adalah kesamaannya dengan “Flu Spanyol” yang membawa kematian lebih dari 50 juta orang antara bulan September 1918 dan Juni 1920. Virus AH1N1 adalah penyebab penyakit tersebut pada kedua kasus itu. Flu Spanyol juga awalnya ditularkan kepada manusia dari babi-babi di Amerika, dari situ flu tersebut menyebar ke seluruh penjuru dunia, menjadi salah satu wabah terburuk dalam sejarah. Karenanya, jika flu babi tidak bisa dikendalikan, terdapat bahaya bahwa flu babi akan menyebar ke seluruh dunia.

Bahkan, negara-negara mungkin harus menempuh jalan pembunuhan massal babi-babi demi mencegah penyebaran flu babi jika hal itu menjadi wabak yang mengancam seluruh dunia. Mesir malahan sudah mulai membunuh babi-babi dalam rangka melindungi diri terhadap penyakit itu. Sumber flu babi, sama seperti pihak berwenang mengeringkan rawa-rawa yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk-nyamuk, yang juga senantiasa menyebarkan penyakit.



Sebagaimana telah disebutkan, saluran pernapasan babi memainkan peran utama dalam kemunculan penyakit berbahaya ini. Hal itu hanyalah satu di antara sejumlah alasan di balik pengharaman Allah memakan babi. Ada banyak hikmah lain di balik Allah mengharamkan penggunaan babi. Sebagiannya dapat disebutkan sebagai berikut:

Babi mengandung belerang dengan kadar tinggi

Karena babi mengandung belerang dengan kadar tinggi, ketika dimakan maka sejumlah besar belerang diserap tubuh. Jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti infeksi persendian ketika belerang menumpuk di dalam tulang rawan, otot dan saraf; pengapuran dan hernia. Ketika babi dimakan secara teratur, jaringan ikat lunak dari babi menggantikan tulang rawan keras di dalam tubuh. Akibatnya, tulang rawan menjadi tidak mampu menopang bobot badan, yang pada akhirnya membawa pada kelainan persendian.



Babi mengandung hormon pertumbuhan dalam jumlah berlebih

Hormon pertumbuhan dalam kadar berlebihan yang tercerna melalui daging babi mengakibatkan pembengkakan dan kelainan bentuk jaringan. Hal itu dapat menimbulkan penimbunan lemak secara tiba-tiba dan berlebihan. Orang yang memakan babi pada umumnya memiliki bahaya lebih besar mengidap kegemukan. Hal itu berkemungkinan mendorong pertumbuhan yang tidak wajar pada tulang hidung, rahang, tangan dan kaki. Hal paling berbahaya mengenai hormon pertumbuhan dalam jumlah berlebih adalah bahwa hal ini membuka jalan bagi munculnya kanker.



Memakan daging babi menyebabkan penyakit kulit

Zat yang dikenal sebagai “histamin” dan “imtidazol” pada daging babi menyebabkan gatal berlebihan. Zat-zat ini juga membuka jalan bagi penyakit-penyakit kulit menular seperti eksem, dermatitis dan neurodermatitis. Zat-zat ini juga meningkatkan bahaya terjangkiti bisul, radang usus buntu, penyakit kantung empedu dan infeksi pembuluh darah nadi. Karenanya, para dokter menyarankan penderita penyakit jantung agar menghindari makan babi.



Memakan babi menyebarkan cacing trichina

Cacing-cacing trichina yang dicerna melalui daging babi memasuki peredaran darah melalui lambung dan usus dan menyebar ke seluruh tubuh. Cacin trichina terutama mendiami jaringan otot pada daerah rahang, lidah, leher, tenggorokan dan dada. Cacing ini menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot gerak mengunyah, berbicara dan menelan. Hal ini juga menimbulkan penyumbatan pembuluh darah balik (vena), meningitis dan infeksi otak. Kasus-kasus parah bahkan dapat berujung pada kematian. Sisi paling berbahaya penyakit ini adalah tidak adanya obat untuk menyembuhkannya. Berjangkitnya wabah cacing trichina telah diamati dari waktu ke waktu di Swedia, Inggris dan Polandia, walaupun sudah dilakukan pengawasan kesehatan hewan.



Babi sangatlah berlemak dan mengandung zat-zat beracun

Babi sangatlah berlemak. Ketika dicerna, lemak tersebut memasuki peredaran darah dan menyebabkan pengerasan pembuluh darah nadi, meningkatkan tekanan darah dan serangan jantung (coronary infarct). Selain itu, babi mengandung suatu racun yang dinamakan “Sutoxin.” Kelenjar getah bening dipaksa bekerja lebih keras untuk mengeluarkan racun ini dari tubuh. Hal ini ditandai dengan membengkaknya kelenjar getah bening, khususnya pada anak-anak. Jika penyakit ini berlanjut, semua kelenjar getah bening akan membengkak, suhu badan naik dan rasa sakit mulai terjadi.

Ini hanyalah secuil bagian hikmah di balik pengharaman Allah memakan babi. Allah juga menunjukkan kepada kita hikmah pengharaman ini dengan menciptakan flu babi di Zaman Akhir. Bagi orang beriman yang tulus, sekalipun tidak memahami mengapa Allah mengharamkan hal apa pun, kewajiban utamanya adalah menjaga batas yang telah ditetapkan-Nya. Namun dengan adanya wabah baru-baru ini Allah memberitahukan kepada kaum beriman satu bagian lagi dari hikmah itu.


http://www.harunyahya.com/indo/indo.m_article_index.php

Saturday, June 20, 2009

KALIMAH ALLAH DI BUMI MAKKAH


KEMBARA MELIHAT KALIMAH ALLAH DAN TEMPAT PILIHAN/LOKASI ANDA- MASUK>>>>>

Panduan Pengguna 'map':
simbol +
: besarkan imej
simbol - : kecilkan imej/ kembali
'hybrid' : label lokasi
klik dan gerakkan simbol tangan : pilih lokasi

Sunday, June 14, 2009

"Retrograde Planet" - Fenomena Pada Planet Dan Bumi

Para ahli menduga beberapa senario

Pertama, rotasi bumi akan melambat sedemikian rupa, sampai suatu ketika akan sama dengan revolusi bulan mengitari bumi. Pada kondisi ini, panjang hari akan menjadi sebulan qomariah.

Sisi bumi yang menghadap bulan akan konstan, sedang sisi lainnya tidak akan pernah lagi melihat bulan. Pada saat seperti itu tentu perintah sholat dan puasa akan menjadi absurd. Kondisi ini diperkirakan terjadi minimal 261 abad lagi. Angka ini belum dapat dipastikan karena masih menunggu data yang lebih banyak lagi dari beberapa satelit pengamat dinamika matahari untuk mengetahui pengaruh pasang surut matahari.

Kedua, rotasi bumi akan terus melambat sampai akhirnya rotasi bumi sama dengan revolusi bumi mengitari matahari. Pada kondisi ini, panjang hari akan menjadi setahun syamsiah. Sisi bumi yang menghadap matahari akan konstan, selalu siang, dan akan panas sampai ratusan derajat Celcius, sedang sisi lainnya akan selalu malam dan membeku melebihi dinginnya kutub saat ini. Pada wilayah perbatasan akan selalu berhembus topan dengan kecepatan ribuan kilometer/jam. Bumi sudah tidak akan bisa lagi dihuni mahluk hidup.

Namun sekali lagi, masih banyak yang kita belum tahu. Bisa jadi, jika didapatkan bahwa rotasi matahari berlawanan arah dengan revolusi bumi mengitarinya, efek rotasi bumi terbalik itu masih bisa terjadi.


Bencana Kosmik

1. Yang lebih mungkin dalam mengganggu rotasi bumi sehingga berbalik dan matahari tampak terbit dari barat adalah bila hadir suatu objek langit yang bermassa sangat besar (lebih besar dari bulan!) dengan lintasan sangat dekat dengan bumi.

2. Hadir suatu objek yang disebut “black-hole”. Objek ini bermassa paling kecil seperseribu matahari atau 333 kali bumi, namun besarnya hanya beberapa kilometer saja. Karena sangat padat, maka medan gravitasinya sangat tinggi, semua materi di dekatnya akan terhisap, sampai-sampai cahayapun tidak bisa lepas darinya. Akibatnya, blackhole tidak akan kelihatan! Dia hanya akan terdeteksi bila cahaya bintang di belakangnya tiba-tiba seperti hilang “tertelan” sesuatu yang gelap.

Kalau blackhole mendekati bumi, maka akan terjadi bencana kosmik maha dahsyat. Bulan yang massanya 1/81 bumi akan keluar dari orbitnya – mungkin termakan oleh blackhole. Bumipun akan berguncang sangat dahsyat, gunung-gunung akan berhamburan. Mungkin saja rotasi bumi jadi berbalik dan matahari tampak muncul dari barat.

Bacaan Lengkap >>>

Thursday, June 11, 2009

Syiah Pejuang Imam ahl bait atau nasionalis (Parsi - Iran)?

Bukti al-Quran dan hadis sohih perkataan "Ahl bait" bukan hanya merujuk keturunan Sayyidina Ali r.a. yang dima'sumkan oleh syiah tetapi juga merujuk isteri nabi SAW.

Hujah al Quran :

1) Surah Hud (ayat 72-74 : ahl bait merujuk - isteri nabi Ibrahim AS berdialog dengan malaikat)

2) Surah al Ahzab (ayat 28 - 34 : ahl bait - merujuk isteri nabi SAW - dilarang keluar rumah jgn berhias spt orang fasik; tunjuk ajar Allah SWT kpd isteri nabi agar menjadi mereka yang menjadi contoh masyarakat ).

Syiah menggunakan ayat 33 surah al ahzab sbg dalil Ali dan keturunannya tertentu ma'sum.Padahal jika dilihat kembali ayat 28 -34 surah al ahzab sebenarnya merujuk kepada isteri Nabi SAW

Ahl Sunnah Wal Jamaah - hanya menghormati, memuliakan dan mencintai Sayyidina Ali dan keturunannya dan tidak mema'sumkan mereka.

Mari kita lihat siapakah yg dikatakan imam maksum disisi syiah tersebut...

1. `Ali bin Abi Talib (wafat 40 H)
2. Hasan bin `Ali (wafat 50 H)
3. *Husain bin `Ali* (wafat 61 H)
4. `Ali Zainal `Abidin bin Husain (wafat 94 H)
5. Muhammad al-Baqir bin `Ali Zainal `Abidin (wafat 117 H)

6. Ja`far as-Sadiq bin Muhammad al-Baqir (wafat 148 H)

7.
Musa al-Kazim bin Ja`far as-Sadiq (wafat 183 H)

8. Ali ar-Ridha bin Musa Kazim (wafat 202 H)
9. Muhammad al-Jawaad bin `Ali ar-Ridha (wafat 220 H)

10. `Ali bin Muhammad al-Jawaad (wafat 254 H)

11.
Hasan bin `Ali al-`Askari (wafat 260 H)
12. Muhammad bin Hasan al-`Askari al-Mahdi (ghaib 260 H)

* keturunan Syahr Banu (berketurunan Parsi) isteri sayyidina hussin r.a. shj yg ma'sum kenapa tidak para isteri sayyidina hussin r.a. yang lainnya bukan keturunan Parsi ?

* Pengkhususan kpd keturunan sayyidina hussin r.a. shj dan tidak kpd keturunan hasan r.a. sdgkan hasanlah yg abang.. apakah kerana keturunan drp sayyidina Hassan r.a tiada seorangpun berdarah keturunan Parsi ?

*dalil quran hadis sahih mana yang diambil khusus kpd keturunan hussein r.a. shj dan khusus 12 orang shj yang disebutkan nama pula?

* jadi apa agenda sebenar mereka, mahu menyampaikan Islam kepada manusia atau agenda bangsa (nasionalis)? apatah lagi dalil Quran dan hadis digunakan tidak jelas maknanya (qat'iyyuddalaalah-jelas, terang) ) dan mestilah hadits-hadits itu mutawatir (qat'iyyu ats-tsubut untuk dijadiakan aqidah).

Jika benar dalil Quran qati'e/mutlak Ahl Bait ma'sum semestinya semua kena ma'sum bukan hanya 12 orang sahaja.

~ *Husain bin ‘Ali* telah berkahwin dengan Syahr Banu, puteri Raja Yazdajird bin Syah Rayar bin Kisra daripada Empayar Sasanid Parsi. Puteri Syahr Banu telah melahirkan ‘Ali bin Husain maka dengan itu mereka mengangkat beliau sebagai khalifah yang baru kerana memiliki darah kesultanan Parsi.[9]

“.... Akan tetapi penetapan ma'sum dan pewasiatan ini mereka hadkan hanya kepada keturunan ‘Ali bin Husain bin ‘Ali yang dilahirkan oleh Puteri Syahr Banu. ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dimasukkan sama semata-mata untuk melengkapkan teori ini.[11]

Keturunan-keturunan lain daripada para isteri Hasan dan Husain tidak mereka masukkan dalam “penetapan dan pewasiatan” ini kerana mereka tidak memiliki darah Parsi.[12]

Hujah hadis sohih :

Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah berdiri di hadapan pintu rumah ‘A‘isyah (عائشة) radhiallahu ‘anha dan memanggil beliau dengan gelaran Ahl al-Bait:

……maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke bilik(rumah)A’isyah dan bersabda: “Assalamu‘alaikum Ahl al-Bait waRahmatullah!” ‘A’isyah menjawab: “Wa ‘alaika salam waRahmatullah!”……[14]

[14] Sahih: Ringkasan hadis daripada Anas bin Malik radhiallahu ‘anh, lihat Shahih al-Bukhari – no: 4793 (Kitab tafsir, Bab tafsir ayat 53 surah al-Ahzab).

Imam Muslim meriwayatkan melalui sanadnya dari Yazid ibn Hayyan; ia berkata: Aku dan Husain ibn Sabrah serta ‘Umar ibn Muslim pergi menemui Zaid ibn Arqam. Setelah kami duduk-duduk bersamanya, berkata Husain kepada Zaid: “Sungguh engkau telah mendapat banyak kebaikan. Engkau telah melihat Rasulullah, mendengarkan hadithnya, berperang bersamanya, dan shalat dibelakangnya. Sungguh engkau telah mendapat banyak kebaikan, hai Zaid. Cuba ceritakan kepadaku apa yang kamu dengar dari Rasulullah saw”‘

Berkata Zaid: “Hai anak saudaraku, aku sudah tua, ajalku hampir tiba, dan aku sudah lupa akan sebahagian yang ku dapat dari Rasulullah. Apa yang kuceritakan kepadamu, terimalah, dan apa yang tidak ku sampaikan, janganlah kamu memaksaku untuk memberikannya”.

Lalu Zaid berkata: “Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri di tengah-tengah kami menyampaikan pidato di suatu tempat bernama Ghadir Khumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Ia membaca hamdalah, dan memuji kebesaranNya. Ia mengingatkan dan memberi nasihat. Selanjutnya ia berkata: Hai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa, hampir-hampir datang kepadaku utusan Tuhanku, dan aku akan memenuhi panggilanNya. Aku tinggalkan untukmu ats-tsaqalain (dua hal). Pertama, Kitab Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah Kitab itu, dan berpeganglah kepadanya. Suruhlah manusia berpegang pada Kitab Allah dan mencintainya. Kedua, keluargaku. Kuingatkan kamu akan Allah mengenai Ahli Baitku. Ku ingatkan kamu kepada Allah mengenai Ahli Baitku!”

Lalu Husain bertanya kepada Zaid: “Hai Zaid, siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah isteri-isteri nabi termasuk Ahlul Bait?"

Jawabnya: “Isteri-isteri nabi termasuk Ahli Baitnya. Tetapi Ahlul Bait adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah setelah wafat Nabi”, lanjutnya lagi, “Siapa mereka?”, tanya Husain. Jawabnya: “Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ibn ‘Abbas”, “Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya. (Sahih Muslim dengan syarah Nawawi, bab Keutamaan ‘Ali, jilid 15, hal.179).

Saya fokuskan kpd perkara berikut:


فيكم ثقلين ‏أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله واستمسكوا به فحث على كتاب الله ورغب فيه

"Aku tinggalkan untukmu ats-tsaqalain (dua hal). Pertama, Kitab Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah Kitab itu, dan berpeganglah kepadanya. Suruhlah manusia berpegang pada Kitab Allah dan mencintainya."

Kmdn:


ثم قال وأهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي

Kmdn, sabdanya lagi," keluargaku. Kuingatkan kamu akan Allah mengenai Ahli Baitku. Ku ingatkan kamu kepada Allah mengenai Ahli Baitku."

Asbab Wurud hadith ini ialah:

Di Ghadir Khumm pada tanggal 18 Zulhijjah, telah berlaku perselisihan para sahabat R.A dgn Ali R.A. Sebelum memulakan ibadah Hajinya, Rasulullah telah mengutus serombongan sahabat diketuai oleh ‘‘Ali bin Abi Talib radiallahu ‘anhu ke Yaman untuk urusan agama. Rombongan ini telah kembali ke Kota Mekah dan sempat melakukan Haji bersama Rasulullah. Beberapa orang dari rombongan tersebut telah mengadu kepada Rasulullah tentang beberapa tindakan ‘Ali yang tidak mereka setujui.

Sekian hari aduan-aduan tersebut masih disuarakan sehingga ketika dalam perjalanan balik, Rasulullah S.A.W berhenti sebentar di Ghadir Khumm dan berkhutbah kepada semua orang bagi menyuraikan aduan-aduan terhadap ‘Ali. Beliau menerangkan bahawa ‘Ali adalah salah seorang dari ahli keluarganya (Ahli Bait) dan hendaklah semua orang menghormatinya. Khutbah ini tidaklah bermaksud supaya umat mentaati dan mengikut ‘Ali bin Abi Talib sebagai salah satu sumber syari‘at, tetapi ia hanya sekadar untuk memperingat kemulian ‘Ali di sisi Rasulullah sehingga ke Hari Kiamat. Ini boleh dilihat pada matan asal hadith itu.

Ibn Hamzah Al-Husaini Ad-Damsyiqi dlm kitabnya,
البيان والتعريف في أسباب ورود الحديث الشريف, menyebut asbab wurud hadith ini apabila Usamah enggan mentaati Ali dlm urusan tertentu, maka berkhutbahlah baginda S.A.W di Ghadir Khumm.

Jelas di sini, tidak ada perlantikan Ali sbg Khalifah. Yg ada hanyalah Baginda S.A.W memperingatkan tentang kedudukan Ahlul Bait. Lalu puak syiah menjadikan ini sebagai dalil Ali sbg Khalifah.

Kaum Rafidhah menganggap bahawa hadith Ghadir Khumm itu mutawatir. Padahal hadith itu hadith ahad, yang masih diperselisihkan kesahihannya. Segolongan ulama meragukan kesahihan hadith itu, seperti Abu Daud as-Sajistani, Abu Hatim ar-Razi, Ibn Taimiyah, Ibn al-Jauzi dan lain-lain. Jadi bagaimana mereka dapat menganggap hadith itu mutawatir sedangkan menurut para ulama hadith itu demikian keadaannya? Tetapi kaum Rafidhah memandang setiap hadith yang sesuai dengan hawa nafsu mereka sebagai hadith mutawatir, walaupun ia hadith maudhu’.

[9] Mamduh Farhan al-Buhairi – al-Syi‘ah Minhum ‘Alaihim, ms. 124. Perkahwinan ini diakui oleh sumber Syi‘ah sendiri, antaranya rujuk buku 14 Manusia Suci oleh Dewan Ulama Organisasi Dakwah Islam, Tehran (edisi terjemahan oleh Yudi Nur Rahman; Pustaka Hidayah, Bandung 2000), ms. 117.

[12] Untuk mengetahui salasilah anak-anak ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husain, lihat buku Ibnu Umar yang berjudul Hukum Ulamak Islam Terhadap Shiah: Dahulu dan Sekarang (Virtue Publications, Kuala Lumpur 1987), ms. 13.

Ringkasnya kita semua mengetahui bahawa terdapat ramai umat Islam masa kini yang memiliki salasilah keturunan yang berpangkal kepada Hasan dan Husain. Akan tetapi hanya satu daripada salasilah ini yang diambil oleh Syi‘ah untuk dinobatkan sebagai “Imam”, iaitu salasilah yang memiliki darah kesultanan Parsi sahaja.

Antara nama-nama anak Sayyidina Hassan r.a. bernama Umar

Jika benar Sayyidina umar r.a. khalifah kedua menyeleweng drp apa yg disampaikan nabi SAW mana mungkin Sayyidina Hassan r.a. meletakkan nama pada anaknya bernama Umar melainkan silaturrahim yg erat terjalin antara Hassan dan Umar

Ini menjadi bukti pendustaan kaum syiah/Rafidhah ke atas Imam-imam ahl Bait sepertimana diriwayatkan dlm hadis Sunnah berkenaan kedustaan rafidhah..

dan benar sptmana Ibn Hajar menyatakan bahawa Rafidah adalah kaum yg membenci sahabat nabi dan mendustakan ajaran mereka mengatasnamakan ajaran atas nama Imam-imam sehingga menampakkan ajaran yg didakwa keturunan nabi/ahl bait bertentangan dengan norma masyarakat/kemanusiaan. Ini dilakukan demi membalas dendam ke atas keturunan nabi .

Oleh sebab itulah dalam beberapa hadis sohih menyebutkan fitnah akhir zaman yg akan menimpa nabi keturunannya sehingga mengalir air mata baginda. Ajaran yg songsang di atasnamakan keturunannya.

untuk melihat lebih lanjut slik lawati laman web berikut:

http://www.bicaramuslim.com/bicara6/viewtopic.php?t=6060&start=0&postdays=0&postorder=asc&highlight

http://www.hakekat.com/
SEJARAH SYIAH


BAHAGIAN PERTAMA

B: Siapakah Syiah al-Rafidhah

Perkataan Syi‘ah dari sudut bahasa.
Dari sudut bahasa, Syi‘ah (
شيعة) disebut sebagai Syi‘ah seseorang (شيعة الرجل), bererti pengikutnya (أتباعه), pendokongnya (أنصاره) dan puaknya sahaja (الفرقة على حدة). Ia diungkap untuk seorang atau dua orang atau ramai, lelaki dan wanita.[1]
Penggunaan istilah ini di dalam al-Qur’an antara lain boleh dirujuk dalam ayat 15 surah al-Qasas:
Dan masuklah ia (Musa) ke bandar (Mesir) dalam masa penduduknya tidak menyedarinya, lalu didapatinya di situ dua orang lelaki sedang berkelahi, - seorang dari golongannya sendiri (Syi‘ah) dan yang seorang lagi dari pihak musuhnya. Maka orang yang dari golongannya (Syi‘ah) meminta tolong kepadanya melawan orang yang dari pihak musuhnya; Musa pun menumbuknya lalu menyebabkan orang itu mati. (pada saat itu) Musa berkata: "Ini adalah dari kerja Syaitan, sesungguhnya Syaitan itu musuh yang menyesatkan, yang nyata (angkaranya).” [al-Qasas 28:15]

Maksud Syi‘ah dari sudut istilah.
Gelaran Syi‘ah lazimnya ditujukan kepada setiap orang yang setia (wala’) kepada ‘Ali bin Abi Thalib dan Ahl al-Baitnya radhiallahu ‘anhum, sehingga ia menjadi nama gelaran yang khusus bagi mereka.[2]

Pembahagian Syi‘ah kepada 3 golongan:
Mazhab Syi‘ah boleh dibahagikan kepada beberapa kumpulan berdasarkan beberapa kategori seperti akidah, politik, fiqh dan sebagainya.[3] Yang penting dalam perbahasan buku ini ialah pendirian atau mazhab Syi‘ah apabila berinteraksi dengan kedudukan para sahabat dan persoalan khalifah (
الإمامة), di mana ia dapat dibahagikan kepada 3 kumpulan:

Pertama: al-Tasyaiyu’ (
التشيع).
Kumpulan ini adalah mereka yang bersimpati lalu menyebelahi pasukan ‘Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa peperangan antara pasukan ‘Ali dan Mu‘awiyyah, radhiallahu ‘anhuma. Mereka juga mengambil berat, merasa sedih dan simpati ke atas nasib yang menimpa ‘Ali dan keluarganya: Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum sebagaimana yang tercatit di dalam sejarah Islam.

Kedua: al-Mufadhdhilah (
المفضلة)
Kumpulan ini adalah mereka yang berpendapat bahawa ‘Ali bin Abi Thalib dan keluarganya adalah lebih mulia, lebih utama dan lebih tinggi kedudukannya berbanding lain-lain sahabat.
Walaubagaimanapun kedua-dua kumpulan yang pertama ini mengiktiraf jawatan khalifah Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman serta tidak mencela para sahabat yang lainnya. Pilihan mereka kepada apa yang mereka cenderungi tidak menyebabkan mereka berlaku tidak adil dan berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap apa yang tidak mereka cenderungi.

Ketiga: al-Rafidhah (
الرافضة)
al-Rafidhah bermaksud kumpulan yang menolak. Syi‘ah al-Rafidhah adalah mereka yang menolak kekhalifahan dan keutamaan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman. Mereka juga menolak para imam daripada keturunan Ahl al-Bait Rasulullah kerana mereka (para imam daripada keturunan Ahl al-Bait) juga mengiktiraf kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman serta mengutamakan mereka bertiga di atas ‘Ali bin Abi Thalib.[4]

Bertitik tolak daripada penolakan di atas maka terbentuk 4 asas berikut yang menjadi iktikad Syi‘ah al-Rafidhah:

1. Bahawa khalifah pertama yang hak selepas kewafatan Rasulullah ialah ‘Ali diikuti dengan Husain dan keturunannya.

2. Bahawa para sahabat sehinggalah ke umat Islam masa kini dari kalangan Ahl al-Sunnah telah membelakangi nas al-Qur’an dan al-Sunnah yang menetapkan jawatan khalifah mereka (‘Ali, Husain dan keturunannya).

3. Bahawa kerana sikap Ahl al-Sunnah yang membelakangi al-Qur’an dan al-Sunnah sepertimana poin 2 di atas, maka mereka, sejak dari Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan para sahabat seluruhnya sehingga ke umat Islam hari ini berada di dalam kesesatan.

4. Bahawa mazhab yang benar di dalam Islam ialah Mazhab Syi‘ah manakala Mazhab Ahl al-Sunnah adalah mazhab yang salah.

Buku ini insya-Allah akan memberi tumpuan kepada membahas dan menjawab nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah serta kisah sejarah yang digunakan oleh Syi‘ah al-Rafidhah untuk membentuk 4 asas di atas. Atas tujuan singkatan perkataan, Syi‘ah al-Rafidhah akan disebut sebagai “Syi‘ah” sahaja di dalam buku ini.

Pengenalan ringkas kepada sejarah kelahiran Syi‘ah.
Faktor yang masyhur disebut sebagai sebab kelahiran Syi‘ah ialah peranan ‘Abd Allah bin Saba’, seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam tetapi sebenarnya memiliki tujuan ingin menghancurkan Islam dari dalam.[5]
Akan tetapi pada penelitian penulis, wujud faktor kedua atau sebuah lagi tenaga penggerak yang melahirkan Syi‘ah. Hal ini wajar kerana faktor yang memecahkan Islam kepada dua aliran besar: Ahl al-Sunnah dan Syi‘ah perlu terdiri daripada sesuatu yang jauh lebih besar, lebih kuat, lebih berazam, lebih berpengaruh dan lebih efektif daripada ‘Abd Allah bin Saba’ seorang sahaja.
Malah keselesaan kita (Ahl al-Sunnah) memfokuskan faktor kelahiran Syi‘ah kepada peranan ‘Abd Allah bin Saba’ sahaja menyebabkan kita leka daripada faktor kedua yang masih memainkan peranan aktif mengembangluaskan Mazhab Syi‘ah sehingga ke hari ini. Lebih berat, kelekaan ini menyebabkan usaha memantau gerakan Syi‘ah menjadi tidak berkesan kerana sasaran yang dipantau (peranan Ibn Saba’) bukan lagi merupakan tenaga penggerak kepada dakwah Syi‘ah di hari ini.
Faktor kedua yang penulis maksudkan ialah peranan Bangsa Parsi. Peranan mereka dapat diringkaskan kepada peringkat-peringkat berikut ini:
• Sejak sejarah mula ditulis, telah wujud persaingan antara Bangsa Parsi dan Bangsa Arab dari sudut kebudayaan, tamadun, kepercayaan agama dan sebagainya. Persaingan ini sering kali bertukar menjadi peperangan dengan kemenangan selalunya berada di pihak Parsi.[6]

• Zaman kegemilangan Parsi berakhir apabila pada zaman pemerintahan Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anh, negara Parsi telah diambil alih oleh pemerintahan Islam. Empayar Sasanid dan sistem Istana yang menjadi kaedah beragama turun temurun bangsa Parsi diruntuhkan.

• Ini merupakan satu tragedi yang amat buruk bagi bangsa Parsi. Sebahagian mereka ada yang memeluk Islam dengan ikhlas. Namun sebahagian lagi, khasnya mereka yang memiliki semangat kebangsaan yang amat kuat serta kesetiaan yang tinggi kepada dinasti kesultanan, pura-pura memeluk Islam dengan objektif ingin membalas dendam dari jalan dalam.[7]

• Kejayaan mereka yang pertama ialah menggerakkan operasi membunuh Umar bin al-Khaththab. Seterusnya mereka dengan kerja sama ‘Abd Allah bin Saba’ menggerakkan operasi menabur benih-benih kedengkian yang akhirnya berjaya menghasilkan pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan.

• Setelah terbunuhnya ‘Utsman, ‘Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah umat Islam. Ketika itu para sahabat berbeza pendapat untuk menghukum para pembunuh ‘Utsman. ‘Ali bin Abi Thalib mewakili kelompok pertama yang berpendapat yang utama ialah menyatukan semula umat Islam dan meredakan kekecohan yang wujud pada saat itu, kemudian barulah dijatuhkan hukuman kepada para pembunuh ‘Utsman. Kelompok kedua pula berpendapat yang utama ialah menjatuhkan hukuman kerana hanya ini akan dapat menyatukan semula umat Islam dan meredakan kekecohan.

• Perbezaan pendapat ini dimanfaatkan sepenuhnya oleh bangsa Parsi dengan mencetuskan fitnah bahawa kelompok pertama dan kedua sedang bersiap sedia untuk saling memerangi antara satu sama lain. Akhirnya berlakulah Perang Jamal dan Perang Siffin di kalangan para sahabat.[8]

• Setelah berpuas hati dengan peristiwa Perang Jamal dan Perang Siffin, mereka beralih mengangkat ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang diiktiraf. Sebabnya, Husain bin ‘Ali telah berkahwin dengan Syahr Banu, puteri Raja Yazdajird bin Syah Rayar bin Kisra daripada Empayar Sasanid Parsi. Puteri Syahr Banu telah melahirkan ‘Ali bin Husain maka dengan itu mereka mengangkat beliau sebagai khalifah yang baru kerana memiliki darah kesultanan Parsi.[9]

• Kepimpinan yang baru ini mereka gelar “Imam” agar lebih sesuai dengan imej Islam. Akan tetapi diterapkan beberapa ciri yang tidak berasal daripada Islam seperti penetapan waris tahta (konsep dinasti), suci (sifat maksum – terpelihara dari dosa dan kesilapan) dan memiliki kekuasaan dalam penentuan syari‘at agama (dijadikan sumber syari‘at). Mengikut sebahagian pengkaji, 3 ciri ini adalah sesuatu yang berasal daripada tradisi Empayar Sasanid.[10]

• Demi membenarkan kedudukan “Imam” mereka yang baru ini, mereka mencipta teori bahawa al-Qur’an dan al-Sunnah telah menetap dan mewasiatkan jawatan khalifah kepada ‘Ali dan keturunannya, menetapkan kesucian mereka dan mengangkat mereka sebagai penentu syari‘at agama.

• Akan tetapi penetapan dan pewasiatan ini mereka hadkan hanya kepada keturunan ‘Ali bin Husain bin ‘Ali yang dilahirkan oleh Puteri Syahr Banu. ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dimasukkan sama semata-mata untuk melengkapkan teori ini.[11] Keturunan-keturunan lain daripada para isteri Hasan dan Husain tidak mereka masukkan dalam “penetapan dan pewasiatan” ini kerana mereka tidak memiliki darah Parsi.[12]

• Untuk mengunggulkan teori ini, mereka menghukum dan mencela sesiapa yang tidak mengiktiraf kekhalifahan ‘Ali dan keturunannya.

• Berkat hidayah dan ilmu yang Allah kurniakan kepada ‘Ali bin Husain bin ‘Ali dan keturunannya, mereka semua menolak pengangkatan diri mereka sebagai “Imam”. Mereka beriktikad bahawa sistem khalifah bercirikan pewarisan, maksum dan penentu syari‘at agama tidak pernah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, bahawa Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman adalah 3 khalifah pertama umat Islam yang sah. Mereka bertiga memiliki keutamaan dan kemuliaan yang melebihi semua orang manakala mereka (‘Ali bin Husain dan keturunannya) hanyalah manusia biasa.[13]

• Mereka (bangsa Parsi) menolak iktikad ‘Ali bin Husain dan keturunannya. Akan tetapi demi menjaga kebenaran teori “penetapan dan pewasiatan” dan menjaga maruah bangsa, mereka meneruskan konsep “Imam” dengan mencipta pelbagai dusta ke atas ‘Ali bin Husain dan keturunannya dan menyembunyikan iktikad mereka yang sebenar.

• Keturunan ‘Ali bin Husain terhenti pada al-Hasan bin ‘Ali bin Muhammad bin Ja’far al-Askari (260H) rahimahullah kerana beliau tidak memiliki anak.[14] Untuk menyelesaikan masalah ini mereka mencipta teori baru, iaitu teori Imam pengganti yang ghaib. Imam pengganti ini mereka namakan Imam Mahdi, meminjam daripada iktikad Ahl al-Sunnah tentang kedatangan Imam Mahdi pada akhir zaman nanti sebagaimana yang dikhabarkan oleh hadis-hadis yang mutawatir sifatnya. Sejak tahun 260H sehingga ke hari ini, mereka meneruskan teori baru ini sebagai kesinambungan daripada teori pertama yang mereka dirikan sejak awal lagi.[15]

• Sehingga hari ini teori-teori di atas masih diperjuangkan oleh bangsa Parsi, pertama sebagai mempertahankan maruah bangsa dan kedua untuk menjauhkan umat Islam daripada agama mereka yang tulen sebagai balasan kepada tindakan umat Islam yang telah memusnahkan “Dinasti” mereka 1400 tahun yang lalu. Oleh itu bukanlah merupakan satu keasingan bahawa satu-satunya negara yang memainkan peranan aktif dalam mengembangkan dakwah Syi‘ah sehingga hari ini ialah negara asal bangsa Parsi, iaitu Iran.

• Aliran Syi‘ah di Iran dikenali sebagai al-Itsna ‘Asyariyyah, bermaksud “12 Imamah”, namun ciri-ciri aliran 12 Imamah ini tidak jauh daripada ciri-ciri Syi‘ah al-Rafidhah.[16] Negara Iran merupakan pusat sumber ilmu ajaran Syi‘ah, kebanyakan tokoh besar Syi‘ah semuanya berasal dari Iran manakala misi-misi dakwah dijalankan oleh wakil-wakil Iran seperti pihak kedutaan,[17] pertubuhan bebas, syarikat perindustrian yang datang melabur sehinggalah kepada para pensyarah yang mengajar di pusat pengajian tinggi negara-negara Ahl al-Sunnah. Antara misi dakwah mereka ialah:
1. Melantik dan melatih juru dakwah yang terdiri daripada bangsa negara itu sendiri.
2. Menterjemah dan meluaskan penerbitan buku-buku pro-Syi‘ah yang asalnya dalam bahasa Parsi.
3. Menjalankan projek kebajikan ke atas orang-orang miskin untuk “membeli” keyakinan mereka. Ini umpama strategi dakwah da‘i Kristian.
4. Mendirikan laman-laman web dalam bahasa ibunda negara tersebut bagi meluaskan jangkauan dakwah tanpa pantauan daripada pihak berwajib.

Demikian ringkasan sejarah kelahiran Syi‘ah sehingga ke hari ini.[18] Sekalipun Mazhab Syi‘ah dalam bentuknya yang umum, yakni dengan pelbagai alirannya, tersebar di beberapa negara, akan tetapi satu-satunya negara yang memainkan peranan aktif menyebar luaskan secara khusus Mazhab Syi‘ah al-Rafidhah ialah Iran. Ini jelas menunjukkan bahawa ia, Mazhab Syi‘ah al-Rafidhah, adalah sesuatu yang berkaitan dengan bangsa Parsi.[19] Ini berbeza dengan Mazhab Ahl al-Sunnah yang disebar luaskan oleh semua negara Islam, menunjukkan ia bukan sesuatu yang terikat kerana bangsa. Hakikat ini perlu diperhatikan oleh semua pihak agar mereka dapat menyusun semula strategi memantau gerakan Syi‘ah di negara masing-masing.

C: Benarkah Syi‘ah ialah pengikut Ahl al-Bait Rasulullah ?



[1] al-Fairuzabadi (817H) – al-Qamus al-Muhith, ms. 735 (Bab al-‘Ain, Fasal al-Syin).
[2] al-Fairuzabadi – al-Qamus al-Muhith, ms. 735.
[3] Atas hakikat ini penulis tidak setuju dengan tindakan beberapa pihak yang mengeneralisasikan Syi‘ah kepada satu kumpulan sahaja dan sekali gus menghukum seluruhnya sebagai tidak benar, sesat dan sebagainya. Yang benar Syi‘ah terbahagi kepada pelbagai kumpulan dan kategori. Kita perlu menelitinya satu persatu dan menghukumnya secara berasingan (case by case basis).
[4] Lebih lanjut tentang hakikat ini, sila rujuk:
1. Muhammad bin ‘Ali al-Syaukani (1252H) – Irsyad al-Ghabi ila Mazhab Ahl al-Bait fi Shabi al-Nabi (edisi terj. oleh A.M. Basalamah atas judul Sikap Ahlul Bait Terhadap Para Sahabat Nabi; Lembaga Penelitian & Pengkajian Islam (LPPI), Jakarta tp.thn.).
2. Ihsan Ilahi Dhahir – al-Syi‘ah wa Ahl al-Bait (edisi terj. oleh Mustafa Mahdamy atas judul Tikaman Syi‘ah Terhadap Para Sahabat Nabi; Pustaka Mantiq, Solo 1986).
3. Mamduh Farhan al-Buhairi – al-Syi‘ah Minhum ‘Alaihim, ms. 12 dan seterusnya.
[5] Syi‘ah berusaha keras untuk menafikan kewujudan ‘Abd Allah bin Saba’ mahupun peranannya. Akan tetapi seperti biasa, usaha mereka tidak terlepas daripada pendustaan dan penyelewengan ilmiah. Sebagai contoh, mereka cuba melemahkan sebahagian jalan periwayatan (sanad) tentang Ibn Saba’, namun pada waktu yang sama mendiamkan jalan-jalan periwayatan yang lain.
Malah mereka juga mendakwa bahawa kononnya al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (852H) menolak riwayat-riwayat berkenaan Ibn Saba’ sebagai “tidak bernilai.” M. Hashem di dalam bukunya ‘Abd Allah bin Saba’ Dalam Polemik (Penerbitan YAPI, Jakarta 1989), ms. 24 telah menukil kata-kata Ibn Hajar yang beliau terjemahkan sebagai:
Berita-berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ dalam sejarah sangat terkenal tetapi tidak (satupun) bernilai riwayat. Dan segala puji bagi Allah…
Akan tetapi apabila dirujuk di dalam kitab Ibn Hajar - Lisan al-Mizan, jld. 4, ms. 24, biografi no: 4618 (‘Abd Allah bin Saba’), Ibn Hajar berkata:
وأخبار عبد الله بن سبأ شهيرة في التواريخ, وليست له رواية ولله الحمد...
Kata-kata Ibn Hajar yang ringkas ini sebenarnya memiliki 2 pecahan:
1.
وأخبار عبد الله بن سبأ شهيرة في التواريخ bermaksud: “Khabar-khabar ‘Abd Allah bin Saba’ masyhur di dalam kitab-kitab sejarah.” Ini bererti Ibn Hajar mengiktiraf dan membenarkan kewujudan dan peranan Ibn Saba’ sebagaimana yang tercatit di dalam kitab-kitab sejarah.
2.
وليست له رواية ولله الحمد bererti: “Namun bagi dia tidak satu pun riwayat, dan bagi Allah segala puji-pujian.” Maksud Ibn Hajar, Ibn Saba’ tidak meriwayatkan apa-apa hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sama ada dengan sanad yang sahih atau dha‘if atau maudhu’. Ringkasnya Ibn Saba’ bukan seorang perawi hadis. Ibn Hajar mengakhiri dengan memuji Allah sebagai tanda kesyukuran. Ini kerana jika Ibn Saba’ seorang perawi hadis, pasti akan wujud banyak hadis lemah dan palsu yang diriwayatkan olehnya sehingga mencemari ketulenan sumber al-Sunnah bagi umat Islam.
Kata-kata Ibn Hajar ini tidak sedikitpun bererti: “…tetapi tidak (satupun) bernilai riwayat…” sebagaimana yang diterjemahkan oleh M. Hashem. Inilah yang penulis maksudkan sebagai pendustaan dan penyelewengan ilmiah.
[6] Lebih lanjut rujuk: Syi‘ah, Imam Mahdi dan Duruz: Sejarah dan Fakta oleh ‘Abd al-Mun‘im al-Nimr (edisi terjemahan oleh ‘Ali Mustafa Ya’qub; Qisthi Press, Jakarta 2003), ms. 26 dan seterusnya.
[7] Syi‘ah, Imam Mahdi dan Duruz: Sejarah dan Fakta, ms. 31 dan seterusnya.
[8] Kisah-kisah sejarah dalam peristiwa-peristiwa di atas banyak yang tidak benar sekalipun yang tertulis dalam rujukan formal seperti silibus sejarah persekolahan dan buku-buku di pasaran. Kisah di atas sebenarnya patut diterima berdasarkan manhaj Ahl al-Hadis (metode kajian sanad) dan bukannya manhaj Ahl al-Tarikh (metode meriwayatkan semua cerita). Oleh itu disyorkan beberapa rujukan berikut sebagai sumber sahih dalam menilai peristiwa-peristiwa di atas:
1. Abu Bakar Ibn al-‘Arabi (543H) – al-‘Awasim min al-Qawasim fi Tahqiq Mawaqif al-Shahabah ba’da Wafat al-Nabi dengan tahqiq Muhib al-Din al-Khatib (1389H) (Dar al-Jail, Beirut 1994). Telahpun diterjemahkan dengan lengkap oleh Abu Mazaya & ‘Ali Mahfuz atas judul Benteng-Benteng Penahan Kehancuran: Satu Upaya dalam Membela Para Sahabat Nabi s.a.w. (Darul Iman, Sri Gombak 2002).
2. Muhammad bin Yahya al-Andalusi (741H) – al-Tamhid wa al-Bayan fi Maqatil al-Syahid ‘Utsman bin ‘Affan dengan tahqiq Karam Hilmi Farhat Ahmad (
كرم حلمى فرحات أحمد) (Dar al-‘Arabiyyah, Kaherah 2002).
3. Muhammad Amahzun (
محمد أمحزون) – Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitnah min Riwayat al-Imam al-Tabari wa al-Muhadditsin (Dar al-Thayyibah, Riyadh 1999). Telah diterjemahkan secara ringkas oleh Rosihon Anwar atas judul Meluruskan Sejarah Islam – Studi Kritis Peristiwa Tahkim (Pustaka Setia, Bandung 1999).
4. Muhammad Asri Zainul Abidin - Pertelingkahan Para Sahabat Nabi (s.a.w): Antara Ketulenan Fakta dan Pembohongan Sejarah (Edisi Kedua) (Pustaka Yamien, Gombak 2003).
5. Ibrahim ‘Ali Sya’wat – Kesalahan-Kesalahan Terhadap Fakta-Fakta Sejarah yang Perlu Diperbetulkan Semula (edisi terjemahan oleh Basri bin Ibrahim; Jahabersa, Johor Bahru 2003).
[9] Mamduh Farhan al-Buhairi – al-Syi‘ah Minhum ‘Alaihim, ms. 124. Perkahwinan ini diakui oleh sumber Syi‘ah sendiri, antaranya rujuk buku 14 Manusia Suci oleh Dewan Ulama Organisasi Dakwah Islam, Tehran (edisi terjemahan oleh Yudi Nur Rahman; Pustaka Hidayah, Bandung 2000), ms. 117.
[10] Sila rujuk:
1. Muhammad al-Bandadi – al-Tasyaiyu’ baina Mafhum al-Aimmah wa al-Mafhum al-Farisi (Dar ‘Ammar, Amman 1988).
2. Muhammad Amahzun – Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitan, jld. 2, ms. 267. Bagi edisi terjemahan, lihat ms. 81-82.
3. Muhammad Abu Zahrah – Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Dar al-Fikir al-‘Arabi, Kaherah tp. thn.), ms. 35. Bahagian pertama buku ini telah diterjemahkan oleh Abd Rahman Dahlan & Ahmad Qarib atas judul Aliran Politik dan ‘Akidah dalam Islam (Logos, Jakarta 1996), lihat ms. 38-39.
4. Ehsan Yarshater (editor) – The Cambridge History of Iran (Cambridge Univ. Press 1983), jld 3: The Seleucid, Parthian and Sasanid Periods.
[11] Memasukkan nama ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain hanya atas tujuan melengkapkan teori mereka. Jika dikaji dalam riwayat-riwayat yang sahih, mereka berempat, radhiallahu ‘anhum, tidak pernah menuntut hak khalifah, tidak pernah mendakwa diri mereka sebagai yang telah diwasiatkan untuk menjawat kedudukan khalifah dan tidak pernah mencela lain-lain sahabat kerana tidak membai‘ah mereka. Malah mereka berempat sentiasa bergandingan bahu dengan lain-lain sahabat demi kebaikan Islam dan umatnya.
[12] Untuk mengetahui salasilah anak-anak ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husain, lihat buku Ibnu Umar yang berjudul Hukum Ulamak Islam Terhadap Shiah: Dahulu dan Sekarang (Virtue Publications, Kuala Lumpur 1987), ms. 13.
Ringkasnya kita semua mengetahui bahawa terdapat ramai umat Islam masa kini yang memiliki salasilah keturunan yang berpangkal kepada Hasan dan Husain. Akan tetapi hanya satu daripada salasilah ini yang diambil oleh Syi‘ah untuk dinobatkan sebagai “Imam”, iaitu salasilah yang memiliki darah kesultanan Parsi sahaja.
[13] Rujukannya telah disebut dalam notakaki nombor 15.
[14] Walaubagaimanapun sebahagian tokoh Syi‘ah berpendapat beliau memiliki anak yang dilahirkan pada 256H dan dia masih hidup di kalangan manusia sehingga hari ini, hanya menunggu masa untuk menonjol keluar sebagai Imam Mahdi. Lihat buku Ibrahim Amini – al-Imam al-Mahdi: The Just Leader of Humanity (Ansariyan Publication, Tehran 1997).
Yang benar di atas hanyalah satu teori daripada pelbagai teori demi membela kebenaran teori sebelumnya. Sumber-sumber rujukan Syi‘ah menerangkan bahawa mereka sendiri, selepas kewafatan al-Hasan bin ‘Ali, telah berpecah antara 14 hingga 20 kumpulan. Lihat kajian Moojan Momen dalam bukunya – An Introduction to Shi‘i Islam (Yale Univ. Press, 1985), ms. 59.
[15] Lebih lanjut tentang teori “Imam” yang ghaib ini di sisi Syi‘ah, lihat buku Mamduh Farhan – al-Syi‘ah Minhum ‘Alaihim, ms. 128 dan seterusnya.
Bagi kajian ilmiah terhadap konsep Imam Mahdi antara Ahl al-Sunnah dan Syi‘ah, lihat buku ‘Adab Mahmud al-Hamsy – al-Mahdi al-Muntazhor fi Riwayat Ahl al-Sunnah wa al-Syi‘ah al-Imamah: Dirasat Haditsiyyah Naqdiyyah (Dar al-Fath, Amman 2001).
Kisah Imam Mahdi ini sendiri kini menjadi satu cerita yang masyhur di kalangan para ustaz dan da‘i. Banyak hadis-hadis yang tertolak disampaikan bagi memberangsang dan menaikkan semangat para pembaca dan pendengar mereka. ‘Abd al-‘Alim ‘Abd al-‘Azhim al-Bastawi telah menulis dua buku yang khas dalam subjek ini:
1. al-Mahdi al-Muntazhor fi Dhaw’a al-Ahadits wa al-Atsar al-Shahihah (Dar Ibn Hazm, Beirut 1999).
2. al-Mausu‘ah fi Ahadits al-Mahdi al-Dha‘ifah wa al-Maudhu‘ah (Dar Ibn Hazm, Beirut 1999).
[16] Bahkan mengikut kajian Muhammad Asri Yusuf, Syi‘ah 12 Imamah dan al-Rafidhah adalah sama. Lihat buku beliau Syi‘ah Rafidhah: Di Antara Kecuaian ‘Ulama’ dan Kebingungan Ummah (Pustaka Bisyaarah, Kubang Kerian 1992). Namun perlu dibezakan, Syi‘ah 12 Imamah ialah nama yang berkaitan dengan manhaj politik manakala Syi‘ah al-Rafidhah ialah nama yang berkaitan dengan manhaj terhadap para sahabat radhiallahu ‘anhum.
[17] Peranan Kedutaan Iran di negara-negara Ahl al-Sunnah dalam mendokong dan menyebarkan ajaran Syi‘ah secara aktif bukanlah sesuatu yang baru. Yang terdekat adalah di negara jiran kita, Indonesia. Ini sebagaimana jelas Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya Aliran dan Paham Sesat di Indonesia (Pustaka al-Kautsar, Jakarta 2002), ms. 92 dan seterusnya.
[18] Syi‘ah pula memiliki teori yang berbeza. Mereka mendakwa Mazhab Syi‘ah telah wujud sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Untuk membenarkan teori ini mereka telah mengemukakan sejumlah dalil daripada al-Qur’an, al-Sunnah dan sejarah. Dalil-dalil ini tidak ada yang menepati dakwaan mereka. Ini kerana pada hakikatnya Mazhab Syi‘ah muncul beberapa dekad selepas dalil-dalil tersebut dan mereka hanya menarik serta memaksa kefahaman daripada dalil tersebut ke arah membenarkan teori mereka. Pendek kata Mazhab Syi‘ah wujud terlebih dahulu kemudian barulah dalil-dalilnya. Ini berbeza dengan Mazhab Ahl al-Sunnah, dalil-dalil wujud terlebih dahulu kemudian barulah “nama” Mazhab Ahl al-Sunnah. Dalil-dalil yang dikemukakan oleh Syi‘ah akan kita bahas dan jawab dalam siri seterusnya insya-Allah.
[19] Sekali lagi penulis tegaskan bahawa tidak semua bangsa Parsi bermazhab Syi‘ah al-Rafidhah. Sebahagian mereka ada yang mengkaji secara mendalam sehingga akhirnya berpegang teguh kepada Mazhab Ahl al-Sunnah. Oleh itu sekalipun penulis sebut secara umum “Bangsa Parsi” dalam penerangan di atas, ia sebenarnya hanya terbatas kepada mereka yang berpegang teguh kepada Mazhab Syi‘ah al-Rafidhah.

www.hafizfirdaus.com

http://www.darulkautsar.com/umum/syiah.htm

http://www.darulkautsar.com

http://www.darulkautsar.com/senaraiarkibberita/1445.htm




Hujah Ahl Sunnah Jawapan Kepada Hujah Syiah Berkenaan Kema'suman Imam Syiah


Ayat al-Tath-hir

(AYAT YG DIGUNAKAN SBG HUJAH SYIAH DALAM MEMA’SUMKAN AHL BAIT)
JAWAPAN AHL AL-SUNNAH

Memandangkan dakwaan dan hujah Syi‘ah ke atas Ayat al-Tath-hir agak panjang lagi mendalam, penulis akan membahagikan analisa dan jawapan ke atasnya kepada lima perbahasan:
1. Adakah ayat 33 surah al-Ahzab membicara subjek kemaksuman?
2. Adakah istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah atau 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?
3. Darjat dan maksud Hadis al-Kisa’.
4. Darjat dan maksud Hadis seruan bersolat Subuh.
5. Darjat dan maksud Hadis Abu Sa‘id al-Khudri.

Pertama: Adakah ayat 33 surah al-Ahzab membicara subjek kemaksuman?
Jawapannya tidak. Para pembaca dijemput memerhatikan semula ayat 33 surah al-Ahzab:

Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [al-Ahzab 33:33][3]
Perhatikan bahawa Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan perkataan Yuridu (يريد) yang bererti “kehendak” atau “keinginan” atau “bermaksud”. Kemudian perkataan Yuzhiba (يذهب) didahului dengan huruf Lam (ل) yang bererti “untuk” atau “supaya”. Justeru firman Allah:(إنما يريد الله ليذهب) hanyalah menerangkan “kehendak” Allah “untuk” menghilangkan dosa para Ahl al-Bait.

Seandainya Allah ingin menetapkan sifat maksum (bebas dari dosa dan suci), Allah akan berfirman dengan sesuatu yang bersifat menetapkan, umpama:

“Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan telah membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Oleh itu Syi‘ah telah melakukan satu kesalahan yang amat besar lagi fatal apabila mereka mendakwa ayat 33 surah al-Ahzab membicara subjek kemaksuman. Yang benar ayat 33 surah al-Azhab tidak membicara subjek kemaksumam, jauh sekali daripada berperanan menetapkan sifat maksum kepada sesiapa, sama ada kepada para isteri Rasulullah atau kepada 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.[4]

Timbul soalan seterusnya, apakah maksud sebenar firman Allah dalam ayat 33 surah al-Ahzab? Jawapannya akan diperolehi dalam perbahasan kedua seterus ini. Sebelum itu untuk memantapkan fahaman para pembaca, berikut dikemukakan contoh sebuah ayat yang juga menggunakan perkataan (يريد) dan (التطهير). Ia adalah ayat berkenaan perintah wudhu’, firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sembahyang (padahal kamu berhadas kecil), maka (berwuduklah) iaitu basuhlah muka kamu, dan kedua belah tangan kamu meliputi siku, dan sapulah sebahagian dari kepala kamu, dan basuhlah kedua belah kaki kamu meliputi buku lali; dan jika kamu junub (berhadas besar) maka bersucilah dengan mandi wajib; dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air), atau dalam pelayaran, atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air, atau kamu sentuh perempuan, sedang kamu tidak mendapat air (untuk berwuduk dan mandi), maka hendaklah kamu bertayamum dengan tanah - debu yang bersih, iaitu: sapulah muka kamu dan kedua belah tangan kamu dengan tanah - debu itu.

Allah tidak mahu menjadikan kamu menanggung sesuatu kesusahan (kepayahan), tetapi berkehendak untuk membersihkan (طهر) kamu dan hendak menyempurnakan nikmat-Nya kepada kamu, supaya kamu bersyukur. [al-Maidah 5:06]
Perhatikan perenggan kedua ayat di atas. Seandainya Syi‘ah menafsirkan ayat 33 surah al-Ahzab sebagai menetapkan sifat maksum kepada Ahl al-Bait, maka dengan itu juga setiap orang beriman yang berwudhu’ akan memiliki sifat maksum juga. Ini kerana kedua-dua ayat 33 surah al-Ahzab dan ayat kelima surah al-Maidah mengunakan istilah Tahara (طهر) yang bermaksud “bersih” atau “suci”.
Di sisi Ahl al-Sunnah, kedua-dua ayat 33 surah al-Ahzab dan ayat kelima surah al-Maidah tidak membicarakan sifat maksum mahupun menetapkan sifat maksum kepada orang yang dirujuk olehnya. Perhatikan, sebagaimana ayat 33 surah al-Ahzab, ayat di atas juga menggunakan perkataan Yuridu dan tambahan huruf Lam: …tetapi (Allah) berkehendak (يريد) untuk membersihkan (ل + يطهر = ليطهر) kamu dan…
Berdasarkan penggunaan perkataan Yuridu (يريد) dan tambahan huruf Lam (ل), maka ayat kelima surah al-Maidah ini tidak berperanan menetapkan sifat maksum kepada setiap orang beriman yang berwudhu’. Demikianlah juga bagi ayat 33 surah al-Ahzab, ia tidak berperanan menetapkan sifat maksum kepada Ahl al-Bait.

Jawapan

Kedua: Adakah istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah atau 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?
Jawapannya akan diperolehi dengan mengkaji keseluruhan konteks perbincangan ayat dari mula hingga akhir. Ia bermula dengan ayat 28 surah al-Ahzab:

Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: Sekiranya kamu semua mahukan kehidupan dunia (yang mewah) dan perhiasannya (yang indah), maka marilah supaya aku berikan kepada kamu pemberian mut'ah (sagu hati), dan aku lepaskan kamu dengan cara yang sebaik-baiknya. [al-Ahzab 33:28]

Dan sekiranya kamu semua mahukan (keredaan) Allah dan Rasul-Nya serta (nikmat kemewahan) di Negeri Akhirat maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi orang-orang yang berbuat baik di antara kamu: pahala yang besar. [al-Ahzab 33:29]

Wahai isteri-isteri Nabi, sesiapa di antara kamu yang melakukan sesuatu perbuatan keji yang nyata, nescaya akan digandakan azab seksa baginya dua kali ganda. Dan (hukuman) yang demikian itu adalah mudah bagi Allah melaksanakannya. [al-Ahzab 33:30]

Dan sesiapa di antara kamu semua tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengerjakan amal yang salih, Kami akan beri kepadanya pahala amalnya itu dua kali ganda, dan Kami sediakan baginya limpah kurnia yang mulia. [al-Ahzab 33:31]

Wahai isteri-isteri Nabi, kamu semua bukanlah seperti mana-mana perempuan yang lain kalau kamu tetap bertaqwa. Oleh itu janganlah kamu berkata-kata dengan lembut manja (semasa bercakap dengan lelaki asing) kerana yang demikian boleh menimbulkan keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (menaruh tujuan buruk kepada kamu), dan sebaliknya berkatalah dengan kata-kata yang baik (sesuai dan sopan). [al-Ahzab 33:32]

Dan hendaklah kamu tetap di rumah kamu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu; dan dirikanlah solat, tunaikanlah zakat; dan taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya.

Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [al-Ahzab 33:33][5]

Dan ingatlah (serta amalkanlah) apa yang dibaca di rumah kamu dari ayat-ayat Allah (Al-Quran) dan hikmah pengetahuan (hadis-hadis Rasulullah). Sesungguhnya Allah Maha Halus Tadbir-Nya, lagi Maha Mendalam pengetahuanNya. [al-Ahzab 33:34]

Jelas daripada ayat-ayat di atas bahawa yang menjadi konteks perbincangan ialah tunjuk ajar serta perintah dan larangan Allah ‘Azza wa Jalla kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum. Firman Allah dalam ayat 33 ……

Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya…… bukan suatu ayat yang terpisah daripada rangkaian ayat 28 hingga 34. Akan tetapi ia termasuk sebahagian daripada ayat-ayat tersebut. Ia berperanan menerangkan tujuan atau hasil yang ingin dikurniakan oleh Allah kepada para isteri Rasulullah dengan segala tunjuk ajar, perintah dan larangan tersebut.

Oleh itu perkataan Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab tetap merujuk kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum. Jika ditafsirkan ayat 33 ini merujuk kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, ia bererti ‘Ali, Hasan dan Husain diperintahkan untuk tetap berada di dalam rumah.
Seterusnya mereka dilarang berhias (tabarruj) apabila berada di luar rumah. Ini adalah tafsiran yang menjauhi fakta yang benar dan pemikiran yang sihat kerana sedia diketahui bahawa ‘Ali, Hasan dan Husain sentiasa bergiat aktif di luar rumah dalam ekspedisi dakwah dan jihad. Lebih dari itu mereka terdiri daripada kaum lelaki yang tidak berhias sebagaimana kaum wanita. Justeru tidak mungkin menafsirkan perkataan Ahl al-Bait dalam ayat di atas sebagai merujuk kepada 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.

Adapun beberapa petunjuk daripada al-Qur’an yang dikemukakan oleh Syi‘ah sebagai bukti bahawa ayat 33 surah al-Ahzab hanya merujuk kepada 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum, ia dapat dijawab dengan mudah seperti berikut:

Jawapan Kepada Petunjuk Pertama:

Istilah Ahl al-Bait tidaklah mutlak merujuk kepada keluarga yang memiliki ikatan nasab sahaja. Ia juga merujuk kepada keluarga yang memiliki ikatan pernikahan. Berikut adalah satu contoh ayat al-Qur’an yang menggunakan istilah Ahl al-Bait ketika merujuk kepada isteri Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.

Isteri (Nabi Ibrahim) berkata: Sungguh ajaib keadaanku! Adakah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua dan suamiku ini juga sudah tua? Sesungguhnya kejadian ini suatu perkara yang menghairankan.

Malaikat-malaikat itu berkata: Patutkah engkau merasa hairan tentang perkara yang telah ditetapkan oleh Allah? Memanglah rahmat Allah dan berkat-Nya melimpah-limpah kepada kamu, wahai Ahl al-Bait. Sesungguhnya Allah Maha terpuji, lagi Maha Melimpah kebaikan dan kemurahanNya. [Hud 11:72-73]

Jawapan Kepada Petunjuk Kedua:

Ayat 33 surah al-Ahzab yang bersifat maskulin (muzakkar) bukan kerana ia mengecualikan para isteri Rasulullah tetapi kerana ia merujuk kepada perkataan Ahl (
أهل) yang sememangnya bersifat maskulin. Dalam kaedah bahasa Arab:

1. Apabila istilah Ahl bersifat maskulin, maka seluruh ayat akan bersifat maskulin juga sekalipun yang dibicarakan ialah berkenaan kaum wanita.
2. Ayat yang bersifat maskulin tidak mengecualikan kaum wanita kerana lafaz mazkulin boleh mewakili kedua-dua lelaki dan wanita.[6]
Kedua-dua poin di atas merupakan kaedah yang amat asas dalam ilmu bahasa Arab. Hal ini mendapat perhatian Wan Zahidi Wan Teh di dalam tulisannya: Ahlul Bait Menurut Pandangan Sunnah dan Syi‘ah sehingga beliau mengulas:[7]

Hujah ini sebenarnya menunjukkan kejahilan mereka (Syi‘ah) dalam bahasa Arab kerana kebanyakan mereka daripada bangsa Parsi tidak memahami bahasa Arab secara mendalam.

Jawapan Kepada Petunjuk Ketiga:

Syi‘ah menggunakan teguran Allah kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, radhiallahu ‘anhum dalam ayat 4 surah al-Tahrim sebagai hujah bahawa mereka (para isteri) tidak termasuk dalam ciri-ciri kemaksuman yang ditetapkan dalam ayat 33 surah al-Ahzab. Hujah ini tertolak dengan dua sebab:

1. Teguran Allah kepada para isteri Rasulullah bukanlah untuk merendahkan mereka tetapi kerana ingin memelihara mereka daripada sifat-sifat yang tidak baik. Para isteri Rasulullah radhiallahu ‘anhum adalah ibu kepada umat Islam seluruhnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:

Nabi itu lebih menolong dan lebih menjaga kebaikan orang-orang yang beriman daripada diri mereka sendiri; dan isteri-isterinya adalah menjadi ibu mereka. [al-Ahzab 33:06]

Sebagai “ibu” umat Islam, para isteri Rasulullah menjadi teladan kepada para isteri orang beriman seluruhnya. Justeru apabila Allah menegur dan memberi tunjuk ajar, ia bukanlah kerana keburukan yang ada pada para isteri Rasulullah tetapi kerana Allah ingin menjadikan mereka sumber teladan atau rujukan kepada para isteri umat Islam seluruhnya.

2. Ayat 33 surah al-Ahzab tidak menetapkan sifat maksum kepada sesiapa, sama ada kepada para isteri Rasulullah mahupun 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Oleh itu sia-sia sahaja penghujahan Syi‘ah ini.

Demikianlah jawapan Ahl al-Sunnah kepada petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang dikemukakan oleh Syi‘ah untuk mengecualikan para isteri Rasulullah daripada istilah Ahl al-Bait. Kembali kita kepada persoalan asal yang sedang dibahas: Adakah istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah atau 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?

Jawapannya: Istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab merujuk kepada para isteri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sahaja radhiallahu ‘anhum.

Jawapan

Ketiga: Darjat dan maksud Hadis al-Kisa’.

Umm Salamah radhiallahu ‘anha berkata:
Diturunkan ayat ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya [al-Ahzab 33:33] di dalam rumah Umm Salamah.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Fathimah, Hasan dan Husain dan menyelimuti mereka dengan kain (Kisa’) manakala ‘Ali berada di belakangnya, lalu diselimuti juga dengan kain.

Kemudian Nabi berdoa: “Ya Allah ! mereka adalah Ahl al-Bait aku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka dengan sebersih-bersihnya.”

Berkata Umm Salamah: “Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?” Rasulullah menjawab: “Engkau tetap pada kedudukan engkau dan engkau selalu dalam kebaikan.”
Perbicaraan ke atas apa-apa hadis tidak memiliki nilai melainkan didahului dengan darjat kekuatannya. Oleh itu kita mulakan dengan membahas darjat kekuatan Hadis al-Kisa’.

Darjat Hadis al-Kisa’.

Hadis al-Kisa’ memiliki darjat yang sahih. Ia dikeluarkan oleh Ibn Abi Syaibah, Ahmad, al-Tirmizi, al-Bazzar, Ibn Jarir al-Thabari, Ibn Hibban, Ibn Abi Hatim, al-Hakim, al-Thabarani, al-Baihaqi dan al-Hafiz al-Haskani, di atas dengan lafaz al-Tirmizi dan dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan al-Tirmizi – no: 3787 (Kitab Manaqib, Bab Manaqib Ahl Bait Nabi). Juga dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahihnya– no: 2424 dan lain-lain daripada ‘A‘isyah (
عائشة) radhiallahu 'anha tanpa disertai oleh pertanyaan Umm Salamah.

Maksud Hadis al-Kisa’.
Merupakan satu keajaiban bagaimana Hadis al-Kisa’ boleh dijadikan hujah oleh Syi‘ah padahal ia adalah sebaik-baik dalil bagi menolak dakwaan mereka bahawa ayat 33 surah al-Ahzab turun untuk ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum.

Ini kerana seandainya ayat 33 tersebut pada asalnya ditujukan kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, tidak perlu lagi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyelimuti mereka berempat dan mendoakan mereka. Namun Rasulullah berbuat yang sebaliknya, menunjukkan bahawa baginda mengetahui bahawa ayat 33 tersebut pada asalnya ditujukan kepada para isteri baginda.
Lalu baginda mengingini agar ia mencakupi juga ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Maka kerana itulah baginda berdoa agar mereka turut serta.[8]

Perlu diingatkan bahawa Rasulullah den
gan bimbingan wahyu yang diperolehinya tidak sekali-kali melakukan perkara yang sia-sia. Sungguh amat jauh daripada akal yang lurus dan logik yang sihat jika Rasulullah mendoakan ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dengan lafaz doa yang berasal dari ayat yang ditujukan kepada mereka berempat – melainkan – ayat tersebut sememangnya tidak ditujukan kepada mereka berempat lalu Rasulullah berdoa dengannya agar mereka berempat termasuk sama.

Adapun pertanyaan Umm Salamah: “Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?”, maka ia memiliki dua sebab tanpa yang ketiga:

1. Di saat tersebut Umm Salamah tidak tahu berkenaan ayat 33 surah al-Ahzab kerana ia baru sahaja diturunkan dan Rasulullah belum membacakannya kepada beliau. Maka Umm Salamah bertanya dalam suasana beliau tidak mengetahui keberadaan ayat 33 tersebut.

2. Jawapan Rasulullah: Engkau tetap pada kedudukan engkau dan engkau selalu dalam kebaikan bukanlah mengecualikan Umm Salamah daripada ayat 33 surah al-Ahzab tetapi daripada doa baginda kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Bahkan di dalam jawapan Rasulullah sendiri terkandung petunjuk bahawa baginda mengetahui Umm Salamah terdiri daripada orang yang ditujukan oleh ayat 33 surah al-Ahzab.

Dalam sebahagian kecil lafaz yang lain dari hadis yang sama, disebut bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada mulanya berdoa: “Ya Allah! Mereka adalah Ahl al-Bait aku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka dengan sebersih-bersihnya” kemudian barulah turun ayat 33 surah al-Ahzab. Perbezaan lafaz ini tidak membawa apa-apa kesan positif kepada penghujahan Syi‘ah kerana:

1. Riwayat yang lebih terpelihara menerangkan bahawa ayat 33 surah al-Ahzab turun dahulu kemudian diikuti dengan doa Rasulullah.

2. Sekalipun Rasulullah sememangnya berdoa sebelum turunnya ayat, ia tetap tidak memiliki apa-apa perbezaan kerana ayat 33 surah al-Ahzab yang turun tidak bersifat menetapkan apa yang didoakan oleh baginda.

3. Doa Rasulullah hanyalah merupakan satu doa dan tidak lebih dari itu. Baginda mengharapkan agar ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dibersihkan daripada dosa dan disucikan. Paling tinggi doa tersebut mengharapkan supaya mereka berempat menjadi golongan bertaqwa yang dihilangkan dosa dan disucikan dengan sesuci-sucinya. Doa baginda tidak menetapkan sifat maksum kepada mereka berempat.[9]

Justeru tidak ada beza sama sekali sama ada Rasulullah berdoa sebelum atau selepas turunnya ayat 33 surah al-Ahzab kerana ia (ayat tersebut) dan doa baginda tetap tidak bersifat menghapuskan dosa dan menyucikan ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, jauh sekali daripada menetapkan sifat maksum kepada mereka berempat, radhiallahu ‘anhum.

Timbul soalan seterusnya: Adakah doa Rasulullah dalam Hadis al-Kisa’ dimakbulkan oleh Allah sehingga ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain menjadi manusia yang maksum sebagaimana dakwa Syi‘ah?

Jawapannya tidak. Hal ini dibuktikan oleh sejarah di mana ‘Ali, Hasan dan Husain telah berijtihad sebagai manusia biasa dalam menghadapi pelbagai cabaran dan krisis pada zaman kehidupan mereka. Sebahagian daripada ijtihad mereka benar dan sebahagian lagi salah sehingga akhirnya mereka gugur syahid dan mendapat darjat yang mulia di sisi Allah.

Jawapan

Keempat: Darjat dan maksud Hadis Seruan Bersolat Subuh.

Daripada Anas bin Malik (radhiallahu ‘anh), bahawasanya Rasulullah sallallau ‘alaihi wasallam melintas di hadapan pintu (rumah) Fathimah radhiallahu ‘anha selama enam bulan apabila keluar untuk pergi bersolat Subuh. Baginda akan bersabda:

“Bersolatlah wahai Ahl al-Bait (kemudian membaca ayat 33 surah al-Ahzab): Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Darjat Hadis Seruan Bersolat Subuh
Sekalipun hadis ini tercatit di dalam banyak rujukan, ia tidak memiliki darjat yang sahih. Yang benar sanadnya berdarjat dha‘if sekalipun dengan tiga jalan periwayatan yang dimilikinya:

Jalan Periwayatan Pertama:
Dikeluarkan oleh al-Thayalisi (
الطيالسي) di dalam al-Musnad – no: 2059 (Kitab isnad Anas bin Malik al-Anshori, Bab ‘Ali bin Ziyad bin Jud‘an), Ibn Abi Syaibah di dalam al-Musannaf – no: 32262 (Kitab Keutamaan, Bab apa yang disebut berkenaan keutamaan Fathimah), ‘Abd bin Humaid (عبد بن حميد) di dalam al-Musnad – no: 1223 (Musnad Anas bin Malik), Ahmad di dalam al-Musnad – no: 13728 & no: 14040 (Musnad Anas bin Malik), al-Tirmizi di dalam al-Sunan – no: 3206 (Kitab tafsir, Bab tafsir surah al-Ahzab), Abu Ya’la di dalam al-Musnad – no: 3978 (Musnad Anas bin Malik), Ibn Jarir al-Thabari di dalam Jami’ al-Bayan – no: 21729 (tafsir ayat 33 surah al-Ahzab), al-Thahawi di dalam Musykil al-Atsar – no: 784 (Bab penjelasan daripada Rasulullah berkenaan maksud ayat 33 surah al-Ahzab), al-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, ms. 56, no: 2671 & jld. 22, ms. 402, no: 1002, al-Hakim di dalam al-Mustadrak – no: 4748 (Kitab Ma’rifah para sahabat, Bab manaqib keluarga Rasulullah) dan al-Hafiz al-Haskani di dalam Syawahid al-Tanzil li Qawa‘id al-Tafdhil – no: 637, 638, 639, 640, 641, 643, 644 & 773 (Asbab al-Nuzul no: 130).

Semuanya dengan sanad yang berpangkal kepada ‘Ali bin Ziyad bin Jud‘an, daripada Anas bin Malik. ‘Ali bin Ziyad bin Jud‘an Abu al-Hasan al-Quraisy, berkata Ahmad bin Hanbal: Tidaklah dia kuat dan orang ramai meriwayatkan daripadanya. Berkata Yahya bin Ma‘in dan Abu Zar‘ah: Tidak boleh dijadikan hujah. Berkata Abi Hatim al-Razi: Tidaklah dia kuat, ditulis hadisnya dan tidak boleh dijadikan hujah.[10]

Jalan Periwayatan Kedua:
Dikeluarkan oleh ‘Abd bin Humaid di dalam al-Musnad – no: 475 (Bab Abu al-Hamra’ maula Nabi), Ibn Jarir al-Thabari di dalam Jami’ al-Bayan – no: 21731 (tafsir ayat 33 surah al-Ahzab), al-Thahawi di dalam Musykil al-Atsar – no: 785 (Bab penjelasan daripada Rasulullah berkenaan maksud ayat 33 surah al-Ahzab), al-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, ms. 56, no: 2672 & jld. 22, ms. 200, no: 525, al-Tsa’labi di dalam al-Kasyf wa al-Bayan, jld. 8, ms. 44 (tafsir ayat 33 surah al-Ahzab) dan al-Hafiz al-Haskani di dalam Syawahid al-Tanzil – no: 694, 695, 696, 697, 698, 699, 701, 702, 703, 766, 771 & 772 (Asbab al-Nuzul no: 130).

Semuanya dengan sanad yang berpangkal kepada Abu Daud, dia berkata aku mendengar Abi al-Hamra’ radhiallahu ‘anh, dia berkata: Aku melihat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam datang ke pintu (rumah) Fathimah selama 6 bulan lalu baginda bersabda (dengan membaca ayat 33 surah al-Ahzab): Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Demikian mengikut lafaz al-Thabarani.

Abi al-Hamra’, beliau ialah salah seorang budak kerja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Daud, nama sebenarnya ialah Nafi’ bin al-Harits al-Hamdani al-A’mi daripada Kufah, demikian terang Abu Ja’far al-Thahawi dan al-Hafiz al-Haskani. Beliau ditinggalkan hadisnya (matruk) manakala didustakan oleh Yahya bin Ma‘in.[11]

Jalan Periwayatan Ketiga:
Dikeluarkan oleh al-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Ausath – no: 8127 (Bab yang bernama Musa), al-Tsa’labi di dalam al-Kasyf wa al-Bayan, jld. 8, ms. 42 (tafsir ayat 33 surah al-Ahzab) dan al-Hafiz al-Haskani di dalam Syawahid al-Tanzil – no: 665, 666, 667 & 668 (Asbab al-Nuzul no: 130).

Semuanya dengan sanad yang berpangkal kepada ‘Athiyah, daripada Abu Sa‘id al-Khudri radhiallahu ‘anh, bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke pintu (rumah) ‘Ali selama 40 pagi dengan mengucapkan salam: Assalamu‘alaikum Ahl al-Bait waRahmatullahi waBarakatuh, bersolatlah semoga dirahmati Allah (kemudian baginda membaca ayat 33 surah al-Ahzab): Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
‘Athiyah, beliau ialah ‘Athiyah bin Sa‘ad Abu al-Hasan al-‘Aufiy, seorang Syi‘ah daripada Kufah. Beliau dihukum dha‘if oleh Hisyam, Yahya bin Sa‘id al-Qathan, Ahmad bin Hanbal, Sufyan al-Tsauri, Abu Zar‘ah al-Razi, Ibn Ma‘in, Abu Hatim al-Razi, al-Nasa’i, al-Jauzajani, Ibn ‘Adiy, Abu Daud, Ibn Hibban, al-Daruquthni dan lain-lain lagi. Selain itu beliau masyhur dengan sifat tadlis yang amat buruk.[12]

Demikianlah takhrij hadis atau semakan hadis berdasarkan sumbernya yang asal. Ia memiliki tiga jalan periwayatan dengan yang pertama memiliki kecacatan yang sederhana. Akan tetapi jalan yang kedua dan ketiga memiliki kecacatan yang berat sehingga tidak boleh dijadikan penguat untuk jalan periwayatan yang pertama. Justeru darjat sanad hadis ini adalah dha‘if.
Maksud Hadis Seruan Bersolat Subuh

Jika sebelum ini kita telah saksikan keajaiban Syi‘ah menggunakan Hadis al-Kisa’ sebagai hujah, kini kita akan saksikan keajaiban kedua pula. Ini kerana, sebagaimana Hadis al-Kisa’, Hadis Seruan Bersolat Subuh juga adalah sebaik-baik dalil bagi menolak dakwaan Syi‘ah bahawa ayat 33 surah al-Ahzab turun untuk ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum. Bahkan ia juga menjadi dalil bahawa ayat 33 tersebut tidak menetapkan sifat maksum kepada mereka berempat. Sebabnya:

1. Istilah Ahl al-Bait, sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini dalam Perbahasan Kedua, boleh merujuk kepada keluarga ikatan pernikahan atau keluarga ikatan nasab. Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah berdiri di hadapan pintu rumah ‘A‘isyah (
عائشة) radhiallahu ‘anha dan memanggil beliau dengan gelaran Ahl al-Bait:
……maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke bilik (rumah)[13] ‘A’isyah dan bersabda: “Assalamu‘alaikum Ahl al-Bait waRahmatullah!” ‘A’isyah menjawab: “Wa ‘alaika salam waRahmatullah!”……[14]

Oleh itu tindakan Rasulullah menyeru ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dengan gelaran Ahl al-Bait bukanlah kerana mereka telah dikhususkan oleh ayat 33 surah al-Ahzab tetapi kerana mereka pada asalnya tergolong di dalam keumuman istilah Ahl al-Bait.

2. Penggunaan ayat 33 surah al-Ahzab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kerana keinginan baginda agar ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum tergolong sama dalam tujuan ayat, iaitu agar dihapuskan dosa dan dibersihkan daripada pengaruhnya. Maka kerana itu baginda mendahuluinya dengan perintah untuk bangun menunaikan solat Subuh. Sama-sama kita ketahui daripada beberapa hadis sahih yang lain bahawa satu solat fardhu ke solat fardhu yang lain menghapuskan dosa di antaranya dan membersihkan pengamalnya daripada pengaruh dosa umpama seorang yang mandi lima kali sehari.

3. Hadis di atas membatalkan dakwaan Syi‘ah bahawa ayat 33 surah al-Ahzab menetapkan sifat maksum kepada 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum. Sebabnya, adalah mustahil seorang yang dinobatkan sifat maksum, khalifah umat dan sumber rujukan syari‘at tidak dapat bangun pagi dengan sendirinya untuk menunaikan solat Subuh selama beberapa bulan berturut-turut.

4. Di sisi Ahl al-Sunnah, hadis ini menunjukkan bahawa ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain adalah manusia biasa yang terkadang lewat untuk bangun menunaikan solat Subuh, berbeza dengan Muhammad sebagai seorang Rasul Allah yang maksum, khalifah umat dan sumber rujukan syari‘at, baginda sentiasa dalam keadaan bersiap sedia untuk menunaikan solat Subuh.

Kesimpulannya, Hadis Seruan Bersolat Subuh dari sudut darjat, ia memiliki sanad yang dha‘if manakala dari sudut maksud, ia membelakangi bahkan membatalkan hujah yang cuba ditegakkan oleh Syi‘ah daripadanya.

Jawapan

Kelima: Darjat dan maksud Hadis Abu Sa‘id al-Khudri.
Diriwayatkan daripada Abu Sa‘id al-Khudri radhiallahu ‘anhum bahawa beliau berkata:
Diturunkan ayat ini kepada lima orang: “Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya” , iaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain (radhiallahu ‘anhum).
Darjat Hadis Abu Sa‘id al-Khudri.

Hadis ini dikeluarkan oleh al-Bazzar sebagaimana takhrij al-Haitsami di dalam Majma’ al-Zawa‘id – no: 14976 (Kitab Manaqib, Bab ke 14) (Lihat Musnad al-Bazaar – no: 2611 sebagaimana di catitan notakaki), Ibn Jarir al-Thabari di dalam Jami’ al-Bayan – no: 21727, al-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Shagheir, jld. 1, ms. 135 (Bab al-Ha’, yang bernama al-Hasan), al-Mu’jam al-Ausath – no: 3456 (Bab yang bernama al-Hasan) & al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, ms. 56, no: 2673 dan al-Hafiz al-Haskani di dalam Syawahid al-Tanzil – no: 660, 661, 662, 663, 664, 767, 769, 770 & 774 (Asbab al-Nuzul no: 130). Ibn Abi Hatim menyebutnya di dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim Musnadan ‘an Rasulullah wa al-Shahabah wa al-Tabi‘in – no: 17673 dari Abu Sa‘id tanpa sanad.
Di atas dengan lafaz al-Thabarani di dalam al-Kabir. Diperselisihkan riwayat ini sama ada marfu’ (sabda Rasulullah) atau mauquf (kata-kata Abu Sa‘id sendiri). Namun hal ini tidak menjadi masalah kerana semua jalan periwayatan di atas berpangkal kepada ‘Athiyah, daripada Abu Sa‘id al-Khudri. ‘Athiyah, beliau ialah ‘Athiyah bin Sa‘ad Abu al-Hasan al-‘Aufiy, seorang Syi‘ah daripada Kufah. Beliau dihukum dha‘if oleh Hisyam, Yahya bin Sa‘id al-Qathan, Ahmad bin Hanbal, Sufyan al-Tsauri, Abu Zar‘ah al-Razi, Ibn Ma‘in, Abu Hatim al-Razi, al-Nasa’i, al-Jauzajani, Ibn ‘Adiy, Abu Daud, Ibn Hibban, al-Daruquthni dan lain-lain lagi. Selain itu beliau masyhur dengan sifat tadlis yang amat buruk.[15]

Berdasarkan kecacatan di atas, hadis ini ditolak bukan sahaja kerana kedha‘ifan dan sifat tadlis ‘Athiyah, tetapi juga kerana di sisi disiplin hadis Ahl al-Sunnah, riwayat yang dibawa oleh seorang Syi‘ah demi kepentingan mazhabnya adalah tertolak.
al-Hafiz al-Haskani mengeluarkan riwayat yang seumpama daripada Ibn ‘Abbas (no: 700) dan Umm Salamah (no: 756) tetapi dengan sanad yang tidak penulis temui status al-Jarh wa al-Ta’dil bagi para perawinya.

Maksud Hadis Abu Sa‘id al-Khudri.
Hadis ini memiliki maksud yang tertolak. Ini kerana apabila ia memasukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke dalam cakupan ayat 33 surah al-Ahzab, ia bererti Rasulullah sendiri pada asalnya merupakan seorang yang berdosa dan tercemar dengan kotorannya. Ini jelas ditolak oleh iktikad yang tulen, nas yang sahih dan pengetahuan yang benar.
Alhamdulillah, selesailah perbahasan kita dalam menjawab dan menolak hujah-hujah Syi‘ah ke atas Ayat al-Tath-hir. Terbuktikan bahawa semua penghujahan Syi‘ah tidak ada yang benar. Bahkan sebahagian “petunjuk” yang mereka gunakan sebagai penguat hujah sebenarnya bertindak untuk membatalkan hujah itu sendiri. Insya-Allah seterusnya kita beralih kepada ayat yang kedua terpenting dalam Mazhab Syi‘ah, iaitu Ayat al-Wilayah.

Kesimpulan mudah kepada para pembaca:
Ayat 33 surah
§ al-Ahzab diturunkan kepada para isteri Rasulullah dalam rangka menyuruh mereka berusaha menghindari dosa dan menyucikan diri daripada pengaruhnya.

Sekalipun ayat 33 surah al-Ahzab mencakupi ‘Ali, Fathimah, Hasan
§ dan Husain, ia tetap tidak memberi mereka status maksum untuk dinobatkan sebagai khalifah umat Islam dan sumber rujukan syari‘at selepas kewafatan Rasulullah.

Istilah “Ahl al-Bait” boleh merujuk kepada keluarga berdasarkan
§ ikatan pernikahan dan nasab.

Kedua: Ayat al-Wilayah

[1] Terjemahan daripada al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah & Penafsir al-Qur’an, Indonesia.
[2] Nukilan berpisah daripada Limaza Akhtartu Mazhab al-Syi‘ah (Muassasah al-‘Alami, Beirut, tp.thn.), ms. 66.
[3] Terjemahan daripada al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah & Penafsir al-Qur’an, Indonesia.
[4] Ibn Taimiyyah - Minhaj al-Sunnah, jld. 4, ms. 21 (bagi edisi lama rujuk jld. 2, ms. 117).
[5] Terjemahan daripada al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah & Penafsir al-Qur’an, Indonesia.
[6] Lebih lanjut lihat:
1. Muhammad al-Amin al-Syanqithi – Adwa’ al-Bayan fi Aydhoh al-Qur’an bi al-Qur’an, jld. 6, ms. 379.
2. Muhammad al-Amin bin ‘Abd Allah al-Uramiyyi – Tafsir Hadaiq al-Rahw wa al-Raihan
(
حدائق الروح والريحان) fi Rawabiy ‘Ulum al-Qur’an (Dar Thuq al-Najah, Beirut 2001), jld. 23, ms. 17.
3. Wan Zahidi Wan Teh – Ahlul Bait Menurut Pandangan Sunnah dan Syi‘ah (kertas kerja seminar Syi‘ah Imamiyah Mazhab Ke 5?; Nur Publications, Kajang 1996), ms. 59-60.
[7] Ahlul Bait Menurut Pandangan Sunnah dan Syi‘ah, ms. 59.
[8] Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi (671H) – Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jld. 14, ms. 135 (tafsir bagi ayat 34 surah al-Ahzab).
[9] Ibn Taimiyyah – Minhaj al-Sunnah, jld. 4, ms. 16. (jld. 2, ms. 116)
[10] Ibn Abi Hatim al-Razi – al-Jarh wa al-Ta’dil, jld. 6, ms. 186, biografi no: 1021.
[11] Ibn Hajar al-‘Asqalani – Taqrib al-Tahzib – biografi no: 7207
[12] al-‘Uqaili – al-Dhu‘afa’ al-Kabir – biografi no: 1392; Ibn Hajar al-‘Asqalani – Thabaqat al-Mudallisin – biografi no: 122 dan Syu‘aib al-Arna’uth (
الأرنؤوط) & Basyar ‘Awwad Ma’ruf – Tahrir Taqrib al-Tahzib, biografi no: 4616.
Tadlis bermaksud menyembunyikan nama perawi sebenar yang diambil hadis daripadanya. Ini dilakukan atas beberapa sebab, yang masyhur ialah menutup kelemahan dan kecacatan yang terdapat pada perawi yang disembunyikan itu supaya hadis yang dibawanya tidak menjadi lemah atau tertolak.
[13] Disebut rumah ‘A‘isyah sebagai “bilik” kerana di saat itu rumah para isteri Rasulullah semuanya kecil seperti sebuah bilik.
[14] Sahih: Ringkasan hadis daripada Anas bin Malik radhiallahu ‘anh, lihat Shahih al-Bukhari – no: 4793 (Kitab tafsir, Bab tafsir ayat 53 surah al-Ahzab).
[15] al-‘Uqaili – al-Dhu‘afa’ al-Kabir – biografi no: 1392; Ibn Hajar al-‘Asqalani – Thabaqat al-Mudallisin – biografi no: 122 dan Syu‘aib al-Arna’uth (
الأرنؤوط) & Basyar ‘Awwad Ma’ruf – Tahrir Taqrib al-Tahzib, biografi no: 4616.
Tadlis bermaksud menyembunyikan nama perawi sebenar yang diambil hadis daripadanya. Ini dilakukan atas beberapa sebab, yang masyhur ialah menutup kelemahan dan kecacatan yang terdapat pada perawi yang disembunyikan itu supaya hadis yang dibawanya tidak menjadi lemah atau tertolak.

www.hafizfirdaus.com/ebook




ISU TAQIYYAH DAN PENJELASANNYA


Sesungguhnya taqiyah itu hanya dibolehkan untuk orang-orang lemah yang ditindas yang khuatir tidak boleh kekal di atas kebenaran dan bagi orang-orang yang tidak menempati qudwah (teladan) bagi manusia, orang seperti merekalah yang boleh mengambil rukhsyah (taqiyah) ini. Adapun orang-orang yang memiliki semangat dan tekad dari para Imam yang menjadi petunjuk jalan maka mereka wajib mengambil azimah (hukum yang kuat) menanggung derita , tetap teguh di jalan Allah walau apapun yang mereka hadapi. Dan adalah para sahabat Rasulullah s.a.w. orang yang mulia sebagaimana yang dipersaksikan Al-Qur’an. Allah berfirman :


“ Kekuatan, kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang mukmin, tetapi orang-orang yang munafik itu tidak mengetahui.” [Al-Quran :Al-Munafiqun; 8].


Maka tidak boleh orang-orang yang mulia (kuat) itu hanya berasal dari para sahabat yang khusus, karena Ali dan Ibnu Abbas , bukan orang yang munafik juga bukan orang yang hina sehingga mengambil sikap taqiyah.


“Inilah sikap Rafidhah”. Mereka berdusta atas nama Ja’far As-Siddiq bahwa dia berkata : Taqiyah adalah agamaku dan agama bapa-bapaku. Dan Allah telah membersihkan ahlul bait dari hal itu dan tidak menjadikan mereka memerlukan kepadanya , karena mereka adalah manusia paling jujur dan paling agung imannya. Agama mereka adalah takwa dan bukan taqiyah [Al-Muntaqa: 86].


Allah 'Azza wa Jalla berfirman:


“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu adalah benar-benar Rasul Allah. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu adalah benar-benar Rasul-Nya. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang munafik itu benar-benar orang pendusta.”[Al-Munafiqun:1].

Allah berfirman, artinya: “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan kami beriman, dan apabila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok’.”[Al-Baqarah:14]

“Takutlah kamu kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”[At-Taubah:119]


“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah perkataan yang benar.”[Al-Ahzab:70]


Allah berfirman:“Di antara orang-orang Mukmin ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kapada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka (ada pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah-ubah janjinya, supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Ahzab:23-24].



Berikut ini pendapat para ulama tentang Syiah Rafidhah.

Ibn Hajar berkata:1 "Pelaku bid'ah itu ada yang menjadi kafir dan fasiq. Bahwa perbuatan bid'ah ada yang menjadikan pelakunya kafir, ini disepakati oleh para ulama. Misalnya, (bid'ah) pada ajaran Rafidhah ekstrim. Sebagian Rafidhah meyakini bahwa Tuhan telah mengambil tempat pada diri 'Ali dan lainnya. Menurut mereka, 'Ali akan kembali ke dunia sebelum hari kiamat.

Syi'ah Imamiyah, juga meyakini kebangkitan kembali Imam Muhammad ibn Hasan al-Askari berikut para pendukung maupun musuhnya, sebelum hari kiamat. Mereka ini tergolong kaum Rafidhah ekstrim yang dipandang kafir lantaran bid'ahnya, dan karenanya, riwayat mereka ditolak."Dr. Musthafa as-Siba'i, dalam buku as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri' al-Islami, mengutip tulisan Imam 'Abd al-Qadir al-Baghdadi dalam buku al-Farq bayn al-Firaq sebagai berikut:2

"Satu hal yang cukup jelas bagi saya, bahwa ulama al-Jarh wat-ta'dil menolak riwayat pembid'ah apabila (hadits) yang diriwayatkan itu sesuai dengan ajaran bid'ahnya. Para ulama juga menolak riwayat orang yang membolehkan dusta, misalnya untuk membuat hadits palsu sesuka hati. Karena itu ulama al jarh wat-ta'dil menolak riwayat kaum Rafidhah. Tetapi, para ulama itu menerima riwayat sebagian orang Syi'ah yang dikenal jujur (shidq wa amanah)."

Ma'mal ibn Ihab mengaku mendengar Yazid ibn Harun berkata, "Aku mencatat (riwayat) dari pembid'ah walaupun ia mempromosikan bid'ahnya, kecuali riwayat kaum Rafidhah yang suka berdusta"3

Hammad ibn Salamah bercerita tentang seorang guru Rafidhah yang berkata: "Bila kami sedang berkumpul, dan melihat sesuatu yang kami pandang baik, maka langsung itu kami jadikan sebuah hadits."4

Menurut Abul Qasim ath-Thabari, Imam Syafi'i pernah berkata begini, "Aku tak pernah melihat orang yang paling suka memberikan kesaksian palsu, lebih daripada kaum Rafidhah.”5Selain itu, banyak lagi pernyataan-pernyataan yang senada. Bagi yang ingin mengetahui lebih banyak, silahkan membaca buku Minhaj as-Sunnah dan al-Muntaqa,

Catatan Kaki:

1. Hadi as-Sari, mukaddimah Fathul Bari, juz 2, hal. 143.

2 .As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri' al-Islami, hal. 93, 94.

3 .Minhaj as-Sunnah, juz 1, hal. 13. 4. Idem. 5. Idem.

Rujukan: Tinjauan diaLog Sunnah syiah al Musawi oleh Mahmud Zaa'by

http://www.hafizfirdaus.com/ebook/al-murajaat/index.htm

AL-QURAN KETETAPAN DAN PENURUNANNYA

Penurunannya Sekaligus dan Diwahyukan Secara Beransur-ansur.

Menurut Ulama Tafsir, turunnya AL-Quran melalui 3 tahap berdasarkan dalil Quran dan Hadis Sohih:

Al-Quran di Luh Mahfuz

Firman Allah swt : ……….Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Quran yang mulia, yang tersimpan di Luh Mahfuz
( Quran: al Buruj : 20-22 )

Al-Quran diturunkan ke langit bumi sekaligus

Firman Allah swt : Sesungguhnya telah Kami turunkan Al-Quran pada malam Lailatul Qadar yang mulia, yang tersimpan di Luh Mahfuz ( Quran: al Qadar : 1)

Firman Allah swt : Sesungguhnya telah Kami turunkan dia (Al-Quran) pada satu malam yang penuh berkah, sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang memberi peringatan”.( Quran: ad Dukhan : 3)

Diriwayatkan daripada Ibn Abbas r.a.berkata Al-Quran diturunkan pada malam al-Qadar pada bulan Ramadhan ke langit bumi sekaligus kemudian diturunkan secara beransur-ansur’.(Riwayat : Imam Thabrani)

Imam al Suyuti mengemukakan bahawa al Burthubi menukilkan hikayat ijma’ bahawa turunnya Al-Quran sekaligus adalah dari Luh Mahfuz ke Baitul Izzah (langit pertama)


Al-Quran diturunkan dari Baitul Izzah (langit pertama) dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara beransur-ansur.

Firman Allah swt : Al-Quran ini Kami turunkan secara beransur-ansur supaya kamu bacakan kepada manusia dengan perlahan-lahan dan Kami turunkan dia secara sedikit demi sedikit .( Quran: al Isra : 106)

Turunnya Al Quran dalam bahasa arab dalam tujuh huruf(dialek suku-suku bangsa arab –iaitu Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazan, Kinanah, Tamim dan Yaman).

Hikmah diturunkan dalam 7 huruf (lahjah/dialek) bagi menyatukan suku-suku bangsa Arab.


AYAT YANG MULA-MULA DITURUNKAN DAN SURAH SEMPURNA YANG MULA-MULA DITURUNKAN


Ayat paling mula diturunkan ialah ayat 1-5 surah al-Ala’ tetapi tidak sempurna keseluruhan surah Al-Ala’. Dikenali sebagai ayat menandakan kenabian Nabi Muhammad SAW.

Surah al Muddatsir : ayat –ayat paling mula diturunkan perintah tabligh (Kerasulan Baginda SAW)

Surah yang sempurna semua ayatnya mula-mula diturunkan ialah Surah Al Fatihah (bermaksud- Pembukaan). " Diriwayatkan yang demikian dari jalan Abu Ishak dari Abi Maisarah berkata : Apabila Rasulullah SAW mendengar suara baginda pergi dengan lari dan beliau menyebutkan turunnya malaikat kepada baginda dan perkataannya : Ucapkanlah Alhamdulillahirabbil'alamin sampai akhir surah".



RUJUKAN1. Jalaluddin As Suyuti : Riwayat Turunnya Ayat-ayat Quran, Pustaka Darul Fikir

SEJARAH AL-QURAN HINGGA BERBENTUK MUSHAF

Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizatyang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir di mana membacanya termasuk ibadah”.


Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul,dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir yang dimulai dengan surat Al Fatihah (bermaksud - pembukaan: Memohon taufik dan hidayah ke jalan lurus dari Allah SWT) dan ditutup dengan surat Annas (Memohon perlindungan daripada godaansyaitan dari Allah SWT )"
Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW seperti Hadis Qudsi, tetapi tidak termasuk Al-Qur’an.
Pembahagian Al-Qur'an


Surah dan ayat

Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah. Total jumlah ayat dalam Al-Qur'an mencapai 6236 ayat di mana jumlah ini dapat bervariasi menurut pendapat tertentu namun bukan disebabkan perbedaan isi melainkan karena cara/aturan menghitung yang diterapkan. Surah-surah yang panjang terbagi lagi atas sub bahagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surah dapat dibahagi atas surah-surah Makkiyah (surah Mekkah) dan Madaniyah (surah Madinah). Pembahagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surah dan ayat tertentu di mana surah-surah yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surah Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surah Madaniyah.
Menurut ukuran surah
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surah-surah yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
As Sab’uththiwaal (tujuh surah yang panjang). Yaitu Surah Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
Al Mufashshal (surah-surah pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya


PENURUNAN AL-QUR'AN


Penurunan Al-Qur'an terjadi secara beransur-ansur selama 23 tahun. Para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 period, yaitu period Mekkah dan period Madinah. Period Mekkah berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surah-surah yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periodh Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surah yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian pembukuannya dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

PENGUMPULAN AL-QUR'AN DI MASA KHULAFA UR RASYIDIN
Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an (70 orang) . Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat bimbang akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.


PADA MASA PEMERINTAHAN UTSMAN BIN AFFAN - PEMBUKUAN


Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antara suku yang berasal dari daerah yang berbeza. Hal ini menimbulkan kebimbangan Utsman sehingga ia mengambil keputusan untuk membukukan sebuah mushaf standard (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan panduan berikut : 1) Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Quran 2) Jika ada perbedaan dialek/lahjah- qiraah, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka.Standard tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (resam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Daud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang sohih:


Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah di Madinah (mushaf al-Imam).
PADA MASA PEMERINTAHAN MUAWIYAH - PEMELIHARAAN MAKSUD AYAT-AYAT AL-QURAN
Tanda titik pada ayat-ayat Al-Quran Tujuan Pemeliharaan makna/maksud ayat-ayat Al-Quran
Ulama yang bertanggungjawab tugas berkenaan ialah Abu Al-Aswad Adhuali meletakkan titik- titik pada ayat –ayat al-Quran bagi mengelakkan salah bacaan yang menyebabkan perubahan makna /maksud ayat ini lanjutan daripada beberapa peristiwa yang terjadi pada zaman Muawiyah apabila utusannya dibunuh akibat tersalah baca bacaan huruf oleh pihak penerima utusan . Contoh titik seperti pada huruf-huruf “ba, ta, ,sa dan sebagainya seperti yang kita lihat pada Quran hari ini.
Dengan kata lain tanda titik-titik tersebut langsung tidak menyentuh huruf-huruf Quran sepertimana dapat dilihat pada Quran hari ini.
Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah - memperindahkan lagi dengan tanda baris atas, bawah hadapan dan sebagainya sepertimana dilihat pada Quran Resam Uthmani hari ini tujuannya demi memelihara maksud ayat-ayat suci Al-Quran. Titik-titik dan tanda baris selain fungsinya sebagai panduan bacaan yang betul - memelihara maksud ayat-ayat suci juga sepertimana ukiran-ukiran pada lembaran al-quran sebagai pengindahan ukiran pada Al-Quran.
Titik, tanda dan ukiran tidaklah merubah walaupun satu huruf kerana Titik, tanda dan ukiran tidak menyentuh huruf, oleh itu huruf asalnya terpelihara hingga ke hari kiamat sepertimana jaminan daripada Allah SWT.

AL QURAN RESAM UTHMANI


Hukum tajwid dan penggunaan tanda-tanda bacaan ayat-ayat suci Al-Quran adalah menurut Tariq Syatibi daripada riwayat Hafs b. Sulaiman Ibn Al-Mughirah al-Asadi Al-Kufi bagi Qiraat ‘Asim b. Abi an Najwad Al-Kufi At-Tabii’ daripada Abi abdul Rahman Abdullah b. Habib As-Sulami daripada Uthman b Affan dan Ali b Abi Talib dan Zaid b. Thabit dan Ubaiy b. Kaab. Keempat sahabat nabi ini menerimanya daripada Nabi Muhammad SAW.
Al Quran resam Uthmani yang ada pada umat muslimin sekarang ini tiada suatu perubahan hurufpun sepertimana dijelaskan sejarah Quran zaman Khaifah Ur Rasyidin, Muawiyah dan Abbasiyah semuanya bertujuan memelihara ayat-ayat suci al-Quran, ini menyangkal golongan yang mengatakan Tahrif pada Quran dan sesungguhnya Al-Quran adalah dipelihara Allah sejak di Luh Mahfuz hingga hari qiamat secara tulisan dan hafalan-hafalan kaum muslimin(para hafiz) di seluruh dunia.

Surah ke-15 ayat 9 :
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al Quran dan Kami pulalah yang tetap memeliharanya.”
Surat ke-18 ayat 27 :
“Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu yaitu Kitab Tuhanmu (Quran). Tidak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari pada-Nya.”

RUJUKAN :
1.Ust. Hassan Mahmud al Hafiz; Ilmu Tajwid Al Quran, Pustaka Al Mizan, cetakan ke 6; 1992
2. Jalaluddin As Suyuti : Riwayat Turunnya Ayat-ayat Quran, Pustaka Darul Fikir
3. Hj Abdul Qadir Leong : Tajwid Al Quran Resam Othmani, Pustaka Salam sdn bhd. 19984. Prof. Dr. H. Mahmud Yunus; Klang Book Centre, Cetakan 1 1992